A Latar Belakang Masalah Kaum sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah. Yakni menuju kesuatu tahap ma'rifah (mengenal Allah dengan hati). Jalan ini diawali dengan riyadhah ruhaniyah yang secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam (jamak dari maqamat) dan hal (jamak dari hal) yang berakhir dengan ma'rifah kepada Allah.
JAKARTA - Selain ada beragam mazhab fikih dan pemikiran, di tengah masyarakat Islam juga muncul praktik tasawuf. Kata tasawuf berasal dari sejumlah kata. Sebut saja, misalnya, kata saff yang berarti barisan dalam shalat berjamaah. Ini merujuk pada seorang sufi atau pelaku tasawuf yang selalu memilih saf terdepan dalam shalat juga mempunyai iman kuat dan hati bersih. Kata lainnya adalah suffah, bermakna pelana yang digunakan para sahabat Nabi Muhammad yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi, Madinah. Arti lain dari suffah ini adalah kamar yang disediakan para sahabat dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni suffah disebut sebagai ahl as-suffah. Mereka mempunyai sifat teguh pendirian, takwa, zuhud, dan tekun beribadah. Peneliti tasawuf Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani melalui karyanya, Madkhal ila at-Tasawuf al-Islami Pengantar ke Tasawuf Islami, mengungkapkan mengenai karakteristik menilai, tasawuf mengandung lima ciri umum, yaitu memiliki nilai-nilai moral, pemenuhan fana dalam realitas mutlak, pengetahuan intuitif langsung, timbulnya rasa bahagia karena tercapainya tingkatan-tingkatan spiritual, dan penggunaan simbol-simbol untuk pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat. Ensiklopedi Islam menjelaskan, benih-benih tasawuf sudah ada pada kehidupan Nabi Muhammad lewat perilaku dan peristiwa dalam hidup beliau. Sebelum diangkat menjadi rasul, selama berhari-hari beliau berkhalwat di Gua Hira, terutama saat Ramadhan, melakukan zikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah diri Muhammad di Gua Hira ini menjadi acuan utama para sufi melakukan khalwat. Puncak kedekatan Rasul dengan Allah tercapai ketika melakukan perjalanan Isra dan Mi’raj. Ibadah beliau juga merupakan cikal bakal tasawuf. Dia adalah orang yang paling tekun dalam menjalani ibadah. Akhlak beliau pun menjadi acuan para lain yang menjadi rujukan para sufi adalah kehidupan empat sahabat Rasulullah, khususnya yang berhubungan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi pekerti mereka. Apalagi para sahabat ini adalah murid langsung Rasulullah, yang meneladani dalam perilaku praktik sufi ini, juga ada proses bergulir yang juga merupakan respons atas kondisi sosial yang ada. Saat Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kekhalifahan Islam, banyak kalangan menilai sikap bermewah-mewahan telah meracuni umat Islam kala itu. Kemudian, ada yang meresponsnya dengan mempraktikkan hidup saat itu, hidup zuhud menyebar luas. Tokoh tabiin pertama yang menjalani hidup semacam itu adalah Sa’id bin Musayyab. Ia banyak memperoleh pendidika dari mertuanya, Abu Hurairah. Di Kota Basra, Irak, muncul nama Hasan al-Basri. Ia dikenal dengan kezuhudannya. Tokoh lainnya di Basra adalah Malik bin akhir abad ke-2 Hijriah, terjadi peralihan dari fenomena zuhud ke tasawuf mulai tampak. Pada masa ini juga, muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Salah satu tokoh pada masa itu yang condong pada kajian tasawuf adalah Ibrahim bin Adham di Khurasan. Sosok lainnya, Fudail bin Iyad, asal Khurasan yang meninggal di kemudian hari, juga ada Rabiah al-Adawiyah. Pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, kajian-kajian soal tasawuf bermunculan. Ada dua kecenderungan yang lahir dari kajian tasawuf itu. Pertama, cenderung pada kajian bersifat akhlak yang berdasarkan Alquran dan kecenderungan lainnya adalah kajian tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Pada abad ke-5 Hijriah, kajian tasawuf akhlak lebih dominan. Sufi penting yang muncul pada masa itu, di antaranya adalah Abu Qasim Abdul Karim abad ke-5 Hijriah, puncak perkembangan tasawuf pada abad selanjutnya, terutama pada abad ke-6 dan ke-7, berfokus pada Ibnu Arabi yang mengusung konsep Wahdatul Wujud. sumber Harian RepublikaBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini
QamarKailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah.

Beberapa riwayat mengatakan Ibrahim juga tercatat ikut serta dalam mempertahankan Benteng Thughur, yang terletak di utara Suriah dari serangan Byzantium JERNIH—Ibrahim bin Adham, yang terlahir dengan nama lengkap Ibrahim bin Adham Mansur bin Yazid bin Djabir Abu Ishak Al –Idjli, tergolong salah satu sufi pada periode paling awal sekali. Wajar bila namanya kerap terdengar dalam karya-karya mistis para sufi ternama, seperti Jalaluddin Rumi dalam “Masnawi” atau Fariduddin Aththar dalam “Manthiq Ath-Thayr”. Dilahirkan sebagai pangran Balkh, sebuah wilayah tempat lahirnya ajaran Buddha. Mungkin karena itu kisah pertobatannya kerap dihubungan dengan kisah pertobatan Sidharta Gautama. Kisah tentang kehidupan Ibrahim banyak tersebar, dan membuatnya terkenal. Sayangnya, banyak cerita kemudian bercampur mitos tanpa. “Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia” yang ditulis N. Hanif, literatur tentang Ibrahim bin Adham mengalami banyak perubahan ketika masyarakat mulai menerjemahkan kisah-kisah hidupnya dalam berbagai bahasa. Banyak di antara kisah tersebut yang mulai dibumbui dan akhirnya menjadi mitos. Beberapa penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah, saudara Ja’far al-Sadiq putra Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali, salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi. Namun sebagian besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni Ibnu Asakir dan Bukhari. Riwayat tentang bagaimana pertama kali Ibrahim bin Adham memutuskan untuk meninggalkan semua kekuasaan yang dimilikinya adalah salah satu legenda yang sulit dipastikan keotentikan informasinya. Satu legenda yang paling terkenal adalah kisahnya yang ditulis al Sulami, yang mengisahkan bahwa awal perubahan terjadi dalam diri Ibrahim bin Adham setelah ia mengalami dua kali pertemuan dengan Nabi Khidir. Setelah peristiwa tersebut, Ibrahim langsung mengalami perubahan total dalam hidupnya. Ia melepaskan semua yang dimilikinya, dan mulai menempuh jalan ruhani sepenuhnya. Seperti Sidharta Gautama, Ibrahim bin Adham melakukan pengembaraan, meditasi perenungan dan hidup zuhud. Para sejarawan sepakat, bahwa sejak melepaskan singasananya, Ibrahim hijrah ke Syam. Tempat tinggalnya tidak tetap, dan sering berpindah. Ia menghindari mengemis atau memohon belas kasihan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Ibrahim bekerja apa saja, mulai dari berkebun dan menjadi karyawan orang lain. Di Syam profil Ibrahim bin Adham sama sekali berbeda dengan sosok yang dikenal oleh masyarakat Khurasan tentang dirinya. Menurut N. Hanif, beberapa riwayat mengatakan bahwa Ibrahim juga tercatat ikut serta dalam mempertahankan Benteng Thughur, yang terletak di utara Suriah dari serangan Byzantium. Selain itu, ia juga tercatat ikut serta dalam dua ekspedisi militer, dan gugur pada ekspedisi militer kedua melawan Byzantium. Jenazahnya dikebumikan di wilayah kekuasaan Byzantium kala itu, dekat Benteng Sukin, atau Sufana. Riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau wafat dan dikebumikan di Mesir. Selain di kedua tempat tersebut, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa makamnya terletak di Baghdad, di Damaskus, di Yerusalem, dan di Djabala, sebuah wilayah di tepi pantai Suriah. Kuat dugaan, banyaknya perbedaan pendapat tentang tempat pemakaman Ibrahim bin Adham juga dipengaruhi oleh luasnya legenda tentang Sang Sufi. Setelah meninggalkan singgasananya, Ibrahim bin Adham menjadi milik semua bangsa. Ia berjalan ke mana saja, dan menjadi legenda di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana layaknya para tokoh besar lainnya, ia menjelma menjadi bintang di segala kebudayaan, dan menjadi tautan mata masyarakat yang disinggahinya. Tak terkecuali, Ibrahim bin Adham bahkan menjadi bintang di dunia Sufistik. Namanya kerap muncul dan diceritakan oleh sufi-sufi besar setelahnya. Dari sekian banyak kisah tentang perjalanan hidup Ibrahim bin Adham, kisah yang disampaikan oleh Faridu’ddin Attar, dalam “Manthiq Ath-Thayr” Musyawarah Burung dan “Tadzkiratul Auliya”, agaknya cukup perjalanan hidup Ibrahim bin Adham setelah melepas singgasana dan menjalani hidup zuhud. Bahasa yang lebih tepatnya, ia “membeli kemiskinan” tersebut secara sengaja dengan semua apa yang dimilikinya. ** Seorang laki-laki selalu mengeluh tentang getirnya kemiskinan; maka Ibrahim Adham berkata padanya, “Nak, barangkali kau belum membayar harga kemiskinanmu itu?” Orang itu pun menjawab, “Betapa mustahilnya apa yang Anda katakan, mana mungkin seseorang membeli kemiskinan?” “Aku, “ kata Ibrahim,” Setidak-tidaknya telah memilih kemiskinan itu seharga kerajaan dunia. Dan aku masih akan membeli sesaat dari kemiskinan ini seharga seratus dunia.” Pernyataan itu erat dengan apa yang dinyatakan Allah dalam Al Quran Surat At Taubah Ayat 111, “Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga sebagai balasan untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” *** Ddalam kitab “Hilyat al-Auliya” karya Abu Nu’aim, Said bin Harb bercerita, “Suatu ketika, Ibrahim bin Adham tiba di Makkah dan bertamu kepada Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad. Syekh Ibrahim membawa kantong yang terbuat dari kulit Biyawak. Kantong itu ia gantungkan di sebuah gantungan. Lalu ia pergi untuk thawaf.” Pada saat bersamaan, Sufyan al-Tsauri, salah satu ulama perawi hadis dan juga seorang sufi, bertamu ke rumah Abdul Aziz. Syekh Sufyan melihat kantong milik Ibrahim bin Adham dengan pandangan heran. Ia bertanya kepada Abdul Aziz, “Milik siapakah kantong ini?” “Milik sahabatmu Ibrahim bin Adham.” Syekh Sufyan mendekati kantong dan memegangnya. Penasaran ia dengan isinya, dana mengira isinya adalah buah-buahan yang dibawa Ibrahim dari Syiria. Sufyan Tsauri yang penasaran akhirnya membukanya. Ia kaget manakala isinya ternyata tanah. Hanya tanah. Ketika Ibrahim bin Adham selesai thawaf dan kembali ke penginapan, Abdul Aziz menceritakan perbuatan Sufyan kepada Ibrahim. “Tadi temanmu, Syekh Sufyan ke sini. Dia penasaran pada isi kantongmu. Isinya ternyata hanya tanah. Apa benar, ya Syekh?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Begitulah adanya.” “Untuk apa?” Abdul Aziz ikut penasaran. “Itu adalah makananku sejak sebulan lalu.” Jawab Ibrahim. Abdul Aziz pun diam tak lagi bertanya. Di dalam riwayat lain, Abu Muawiyah al-Aswad bercerita, “Aku pernah melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah selama 20 hari. Setelah itu, Ibrahim berkata kepadaku, “Wahai Muawiyah, seandainya aku tidak takut jiwaku diketahui orang-orang, tentu aku hanya akan makan tanah sampai tutup usia ketika aku menemui Allah. Sehingga rezeki halal bagiku benar-benar bersih. Dari mana pun asalnya.” Di dalam kitab “Hilyat al-Auliya” disebutkan alasannya, yakni agar apa yang dimakannya benar-benar dari sesuatu yang halal. Sebab dalam ajaran Islam, setiap makanan yang mengandung unsur haram kelak bisa menyalakan api di dalam neraka. Api itu akan membakar orang yang makan barang haram. [ ]

TARIKH: Orang Jawa Keturunan Nabi Ibrahim. 186. TARIKH : Orang Jawa Keturunan Nabi Ibrahim. Berdasarka n penyelusur an Genealogy, ada keterkaita n antara Dinasti Majapahit dengan Nabi Ibrahim. Keterkaita n itu, berawal dari kehadiran Dewawarman I, yang merupakan pendiri Kerajaan Salakanagara . Sebagaiman a kita ketahui, Dewawarman I berasal – Ibrahim bin Adham adalah seorang tokoh sufi ternama, tergolong dalam kelompok tabi’in, meninggal dinegeri Syam pada tahun 161 H/778 M rahimahullah. dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi. DONASI SEKARANG Beliau adalah seorang waliyullah, berasal dari keluarga kerajaan wilayah khurasan. Berkelana ke pedalaman arab kemudian ke Mekkah al-Mukarramah, disana ia bertemu dengan Sufyan Tsauri dan Fudhail bin Iyadh kemudian bersahabat dengan mereka. Ibrahim bin Adham mengais rezeki dengan bekerja sebagai pengetam atau penuai, berkebun dan lainnya. Abu hanifah, tokoh ulama mujtahid terkenal adalah juga merupakan salah seorang sahabat Ibrahim bin Adham. Karomah Ibrahim bin Adham Berkata Imam Yafi’i rahimahullah Imam al-Qusyairi meriwayatkan dengan sanadnya, beliau bercerita pernah suatu ketika kami bersama sama dengan Ibrahim bin Adham berada di tepi laut. Kemudian kami berhenti di semak belukar yang banyak kayu-kayu kering, lalu kami berkata kepada Ibrahim “bagaimana bila malam ini kita berdiam di sini dan membakar beberapa kayu untuk perapian ?” Ibrahim bin Adham pun menjawab “boleh, lakukanlah!” Maka kami pun menetap di situ dan membakar beberapa kayu. Saat itu kami hanya membawa bekal beberapa potong roti. Disaat kami sedang menyantap roti, salah seorang dari kami berkata “alangkah bagusnya bara api ini bila ada daging yang bisa kita bakar dengannya untuk kita makan“, kemudian Ibrahim bin Adham berkata “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kuasa atas memberi daging tersebut kepada kalian”. Sesaat setelahnya, tiba-tiba datanglah seekor singa membawa rusa jantan dimulutnya, singa tersebut lalu mendekati kami dan meletakkan rusa yang sudah lunglai lehernya itu dihadapan kami. Kemudian Ibrahim bin Adham berdiri dan berkata “sembelihlah rusa itu!, sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi kalian makanan” Maka kami pun langsung menyembelihnya dan memanggang dagingnya, sedangkan si singa masih tetap diam disitu sembari melihat kearah kami. Muhammad bin Mubarak as-Shuwari berkata suatu hari aku sedang berada di jalan baitul maqdis bersama dengan Ibrahim bin Adham, ketika sampai di sebatang pohon delima kami memutuskan beristirahat di bawahnya, lantas kami menunaikan shalat sunnat dhuha disana. Kemudian sesaat setelah selesai shalat, aku mendengar suara yang keluar dari pohon tersebut, ia berkata “sungguh adalah suatu kemuliaan bagi kami jika saudara mencicipi apa yang ada pada kami”. Lalu Ibrahim bin Adham pun berkata kepadaku “wahai Muhammad, marilah kita penuhi permintaannya !”, kemudian Ibrahim mengambil dua buah delima dari pohon itu dan memberikan kepadaku salah satunya seraya berkata “wahai Muhammad, makanlah!”. Muhammad bin Mubarak melanjutkan ceritanya “beberapa hari kemudian aku kembali melewati pohon tersebut, alangkah terkejutnya aku ketika kulihat pohon itu tumbuh besar dan subur dengan begitu banyak buah yang dihasilkannya. Penduduk di daerah tersebut menamakan pohon itu dengan Syajaratul-abidin yang berarti pohon orang-orang ahli ibadah” Beberapa Kalam Hikmahnya Pokok segala ibadah adalah tafakkur dan diam, terkecuali diam dari berzikir kepada shaleh yang paling berat timbangannya kelak di yaumil mizan adalah amalan yang paling berat dirasa oleh yang paling dahsyat adalah jihad melawan hawa nafsu, barangsiapa yang mampu menahan hawa nafsunya maka ia sungguh telah beristirahat daripada dunia beserta balanya, dan adalah ia dilindungi lagi sejahtera daripada penyakit melakukan kebaikan yang hanya sesuai dengan kesukaannya, dan menjauh dari keburukan yang hanya ia benci saja, maka amal kebaikan tersebut tidak berpahala baginya dan tidak terselamatkan ia dari dosa keburukan yang ia tinggalkan ada tiga macam zuhud fardhu, zuhud salamah dan zuhud fadhal. Maka zuhud fardhu itu yakni zuhud pada yang haram, zuhud salamah adalah zuhud pada yang syubhat/samar-samar, dan zuhud fadhal adalah zuhud pada yang ada yang lebih dahsyat lagi berat terhadap iblis melainkan orang alim lagi halim/sabar, yang jika bicara, ia berbicara dengan ilmu dan jika diam maka ia diam dengan sabar. Hingga berkata iblis mengenainya “sungguh diamnya itu lebih membuat aku tertekan ketimbang bicaranya”.Menyedikitkankan rakus dan loba dapat mewarisi kejujuran dan kewara’an, sedangkan memperbanyak keduanya dapat mewarisi dukacita dan hati kalian dengan rasa takut terhadap Allah, sibukkan badan kalian dengan ketekunan pada menta’ati-Nya, wajah kalian dengan rasa malu kepada-Nya dan sibukkan lidah kalian dengan berzikir kepada-Nya. Dan tundukkanlah pandangan kalian daripada melihat segala yang diharamkan engkau dapat mengekalkan pandanganmu kepada cermin taubat, niscaya akan nyata bagimu aib kejelekan maksiat. Demikian sepintas lalu kisah mengenai Al-Arifbillah Syeikh Ibrahim bin Adham, karomah yang dimilikinya dan beberapa kalam hikmah yang muncul dari lisannya. Semoga dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita ummat manusia. Wallahua’lambisshawab ! Author Recent Posts Alumni Ponpes Moderen Babun Najah Banda Aceh Santri di Dayah Raudhatul Hikmah Al-Waliyyah, Banda Aceh Kalautidak, maka ia adalah tasawuf yang menyimpang. Ibnu Taimiyah dalam kitab yang disebut di atas mengatakan; "Para wali Allah swt adalah orang-orang mukmin yang bertakwa baik ia dikatakan Faqir, Sufi, Faqih, Alim, Tajir, Amir, Hakim dan lain sebagainya". Sehingga dalam hal ini, Ibnu taimiyah mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua
“Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” JERNIH— Abu Ishaq Ibrahim bin Adham lahir di Balkh dari keluarga bangsawan. Ibrahim adalah penerus keluarga tersebut, dan sempat mengenyam kekuasaan dan aneka kenikmatan dunia, sebelum kemudian ia bertobat dengan pertobatan yang total. Ibrajim kemudian memasuki dunia tasawuf dan menjadi seorang sufi terkemuka. Banyak cerita tentang dan dari Ibrahim bin Adham. Beberapa di antaranya kami tulis ulang di bawah ini. Suatu hari ada yang bertanya kepada Ibrahim bin Adham,” Apa yang terjadi kepadamu sehingga engkau meninggalkan kerajaanmu?” “Suatu hari aku duduk di singgasanaku,” jawab Ibrahim. “Ada cermin yang didirikan di hadapanku; aku menatap cermin itu dan melihat bahwa aku tinggal di dalam makam, tanpa seorang pun yang aku kenal. Aku melihat perjalanan panjang di hadapanku, dan aku tak sedikit pun memiliki perbekalan. Aku melihat hakim yang adil, tetapi aku tak memiliki hujjah dan pembelaan. Aku mulai muak dengan statusku sebagai raja.” “Mengapa engkau melarikan diri dari Khurasan?” tanya mereka. “Di sana banyak kudengar tentang sosok sahabat sejati,” jawab Ibrahim. “Mengapa engkau tak emngambil seorang istri?”tanya mereka. “Apakah ada perempuan yang mau menerima suami yang terus membuatnya lapar dan telanjang?” “Tidak,” jawab mereka. “Itulah sebabnya aku tidak menikah,” kata Ibrahim. “Perempuan yang kunikahi akan terus lapar dan telanjang tanpa pakaian. Seandainya bisa, aku akan menceraikan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku membebani orang lain?” Ibrahim berpaling kepada seorang pengemis yang ada saat itu, dan bertanya,” Apakah Engkau memiliki istri?” “Tidak,” jawab pengemis. “Punya anak?” “Tidak,” kembali dijawab pengemis. “Bagus…bagus,” kata Ibrahim. “Mengapa engkau menanyakannya?”tanya pengemis. “Pengemis yang menikah menaiki sebuah kapal. Ketika lahir anak, ia tenggelam.” *** Suatu hari Ibrahim melihat seorang pengemis meratapi nasibnya. “Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” “Tentu saja,” jawab Ibrahim. “Aku membelinya dengan kerajaan Balkh, dan aku dapat potongan harga.” *** Di dalam kitab “Hilyat al-Auliya” karya Abu Nu’aim, Said bin Harb bercerita, “Suatu ketika, Ibrahim bin Adham tiba di Makkah dan bertamu kepada Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad. Syekh Ibrahim membawa kantong yang terbuat dari kulit Biyawak. Kantong itu ia gantungkan di sebuah gantungan. Lalu ia pergi untuk thawaf.” Pada saat bersamaan, Sufyan al-Tsauri, salah satu ulama perawi hadis juga sedang bertamu ke rumah Abdul Aziz. Syekh Sufyan melihat kantong milik Ibrahim bin Adham dengan pandangan heran. Ia bertanya kepada Abdul Aziz, “Kantong ini milik siapa?” “Kantong itu milik salah satu sahabatmu. Ibrahim bin Adham, Syekh.” Syekh Sufyan mendekati kantong lalu memegangnya. Ia penasaran dengan isinya. Ia terus melihat kantong itu dengan seksama lalu berkata, “Agaknya dalam kantong ini ada buah-buahan yang dibawa Ibrahim dari Syiria.” pikirnya. Syekh Sufyan bertambah penasaran dengan isi kantong itu. Dia pun menurunkan kantong dan membukanya. Ketika dibuka, dia kaget dan heran. Bagaimana tidak? Kantong yang dikiranya berisi buah-buahan itu ternyata isinya hanya tanah. Ya. Tanah. Entah untuk apa tanah itu. Maka Syekh Sufyan pun buru-buru menutup kantong lalu menggantungkannya lagi di tempat semula. Ketika Ibrahim bin Adham selesai thawaf dan kembali ke penginapan, Abdul Aziz menceritakan perbuatan Sufyan kepada Ibrahim. “Tadi temanmu, Syekh Sufyan ke sini. Dia penasaran pada isi kantongmu. Dia mengintip apa isi di dalamnya. Dia melihat isinya hanya tanah. Apa benar demikian, Syekh?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Begitulah adanya.” “Untuk apa, Syekh?” Abdul Aziz ikut penasaran. “Itu adalah makananku sejak sebulan lalu.” Jawab Ibrahim. Abdul Aziz pun diam tak lagi bertanya. Di dalam riwayat lain, Abu Muawiyah al-Aswad bercerita, “Aku pernah melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah selama 20 hari. Setelah itu, Ibrahim berkata kepadaku “Wahai Muawiyah, seandainya aku tidak takut jiwaku diketahui orang-orang, tentu aku hanya akan makan tanah sampai tutup usia ketika aku menemui Allah. Sehingga rezeki halal bagiku benar-benar bersih. Dari mana pun asalnya.” Ibrahim bin Adham makan tanah bukan berarti dia tak mampu mencari makanan lain yang lebih lezat. Dia tokoh yang ternama di zamannya. Dia bisa mendapatkan makanan yang lezat. Tapi mengapa Ibrahim sampai makan tanah? Di dalam kitab Hilyat al-Auliya disebutkan alasannya. Dia berbuat seperti itu semata-mata agar apa yang dimakannya benar-benar dari sesuatu yang halal. Sebab dalam ajaran Islam, setiap makanan yang mengandung unsur haram kelak bisa menyalakan api di dalam neraka. Api itu akan membakar orang yang makan barang haram. *** Selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim ingin melanjutkan perjalanannya ke Masjid al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, ia mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma pada seorang pedagang tua untuk bekal di perjalanan. Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Ia mengira satu biji itu bagian dari kurma yang ia beli. Segera ia pungut dan memakannya. Setelah melahap ia berangkat menuju Masjid al Aqsha. Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Ia memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Ia salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika ia beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya. “Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat. “Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain. Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Ia teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, ia mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram. Merasa ada yang janggal di hati dan pikirannya, ia bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma. Sesampainya di Mekah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim yang sedang mengalami kemelut di hati itu pun bertanya. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?” “Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu,”kata pemuda tersebut. “Innalillahi Wainna ilaihi rooji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?” Ibrahim kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama. “Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita. “Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya,”ujar pemuda itu. Ibrahim yang berkeras mendapatkan rido atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya. “Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?”kata Ibrahim. Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim kembali ke Masjid al Aqsha. Ia kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, ia memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Ia kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat. Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tetiba Ibrahim mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain,” kata seorang malaikat. “Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas,”kata malaikat yang satunya lagi. [dsy] Dari “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar, Penerbit Zaman, 2018
Sufyanal-Tsauri dan Buqayyah bin Walid menceritakan bahwa Ibrahim bin Adham berasal dari Balkan lalu ia berpindah ke Syam dengan menanggalkan semua pakaian-pakaian kebesarannya untuk mencari sesuatu yang halal dan menjalani kehidupannya dengan penuh kezuhudan. Ia menetap di sana dengan keadaan sangat fakir.
— Bagi para ahli tasawuf Abad Pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Dia termasuk yang paling awal mengamal kan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Syekh Ibrahim bin Adham 718-782 merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh, kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ibrahim bin Adham kerap dikisahkan sebagai seorang raja atau pangeran yang memilih zuhud. Walaupun nyaris tidak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal itu, dapatlah dikatakan bahwa sosok tersebut memiliki kehidupan yang mapan di Balkh. Setelah bertobat, ia pun menjadi seorang pengembara untuk menjauhi hiruk-pikuk duniawi. N Hanif dalam bukunya, Biographical Encyclopae dia of Sufis of South Asia1999, mengatakan, ada beragam riwayat tentang pertaubatan sang mursyid. Salah satunya, sebagaimana dituturkan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, menampilkan perjumpaan antara Ibrahim dan Nabi Khidir. Dalam narasi tersebut, sosok berjulukan Abu Ishaq itu diceritakan sebagai seorang raja Khurasan. Narasi lainnya dinukil dari Abu Bakr al-Kalabadhi dalam Kitab at-Ta'aruf. Pada suatu hari, Ibrahim mengajak prajuritnya untuk berburu di hutan. Aktivitas ini dilakukannya untuk senang-senang belaka, melepas penat dari rutinitas di istana. Tanpa disadari, kuda tunggangan yang ia pacu sejak tadi telah jauh meninggalkan prajuritnya. Ia terpisah dari mereka, jauh ke dalam hutan, menerobos rimbunnya pepohonan tembus ke satu padang rumput yang luas. Tanpa disadarinya, ia telah terpisah dari para pengawalnya. Seandainya kuda yang ditungganginya tidak jatuh tergelincir, barangkali Ibrahim akan tersasar lebih jauh lagi. Saat sedang berusaha bangkit, ia terkejut karena melihat seekor rusa tiba-tiba melintas di depannya. Ia pun dengan lekas menghela kudanya sembari mengarahkan tombak ke hewan tersebut. Sebelum melempar benda runcing itu, ia mendengar suara yang tertuju padanya, “Wahai Ibrahim! Bukan untuk itu kamu diciptakan. Bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Awalnya, penguasa Balkh itu enggan mengacuhkannya. Pikirnya,mungkin suara itu hanya halusinasi. Begitu hendak meraih tombaknya, tiba-tiba suara yang sama terdengar lagi. “Wahai Ibrahim, bukan untuk itu kamu diciptakan dan bukan kepada hal itu pula kamu diperintahkan!” Ia pun menengok ke kiri dan kanan, tetapi tak seorang pun dilihatnya. “Aku berlindung kepada Allah dari godaan iblis,” ucapnya. Baca juga Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas Ia pun memacu lagi kudanya. Akan tetapi, teguran yang sama lagi-lagi terdengar. Ibrahim pun menghentikan langkahnya, Apakah ini sebuah peringatan dari-Mu, Tuhan? katanya bergumam. Putra bangsawan ini pun merasa, petunjuk Illahi telah menerangi hatinya. “Demi Allah, seandainya Dia tidak memberikan perlindungan kepadaku saat ini, pada hari-hari yang akan datang aku akan selalu berbuat durhaka kepada-Nya.” Sejak saat itu, lelaki dari Bani Bakar bin Wafil ini menekuni jalan salik. Segala kemewahan hidup ditinggalkannya.
Namanyadalah Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh Darim keluarga bangsawan Arab.
ArticlePDF Available AbstractThe study aims to describe tasawuf, which is focusing on thedevelopment history, various madzhab, and its teaching cores. Thedevelopment of tasawuf has divided into five periodes formation,development, consolidation, philosophical, and purification. Within itsdevelopment‟s history tasawuf has three main madzhab with theirrespective loyal followers. All of those madzhab have agreed that themain teaching of tasawuf is cleaning the sould to be able to be closedto God with the certain methods. Those mazhabs have differentopinions on the form of the method, stage of maqamat, and theexistence of ahwal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 ISSN 1693-9867 Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat Diterbitkan oleh Jurusan Tafsi Hadis dan Akidah Filsafat IAIN Surakarta Penanggung Jawab Abdul Matin Bin Salman Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Pemimpin Redaksi Nurisman Sekretaris Redaksi Tsalis Muttaqin Dewan Redaksi Islah Gusmian Ari Hikmawati Tsalis Muttaqin Waryunah Irmawati Siti Nurlaili Muhadiyatiningsih Kasmuri Syamsul Bakri Redaktur Ahli Mark Woodward Arizona State University, Tempe, USA Mahmoud Ayoub Hatford Theological Seminary, Connecticut, USA Florian Pohl Emory University, Georgia, USA Nashruddin Baidan STAIN Surakarta Damarjati Supadjar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Tata Usaha Heny Sayekti Puji Lestari Gunawan Bagdiono Alamat Redaksi Sekretariat Fakultas Ushuludin dan Dakwah IAIN Surakarta Jl. Pandawa, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo 0271 781516 Email Redaksi menerima tulisan ilmiah dari kalangan manapun tanpa mesti sejalan dengan pandangan redaksi. Redaksi berhak menyunting, dan menyempurna-kan naskah tulisan yang diterima tanpa mengubah substansinya. Adapun isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Naskah tulisan berkisar sekitar 15-20 halaman kwarto dengan spasi ganda dalam bentuk disket dan print out-nya. Naskah disertai abstrak dalam bahasa asing Arab atau Inggris. TASAWUF Sejarah, Madzhab, dan Inti Ajarannya Aly Mashar, Abstrak Tulisan ini menjelaskan tentang tasawuf, yang terfokus pada sejarah perkembangan, berbagai madzhab, dan beberapa inti ajarannya. Perkembangan tasawuf dibagi menjadi lima periode, yakni pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi, dan pemurnian. Dalam perjalanannya tasawuf memiliki tiga madzhab utama dengan pendukung loyalnya masing-masing. Semua madzhab sepakat bahwa inti ajaran tasawuf adalah membersihkan jiwa guna mendekatkan diri kepada Allah Swt., dengan menggunakan metode tertentu. Mereka berbeda pendapat mengenai bentuk metode, urutan maqamat, dan keberadaan ahwal. Abstract The study aims to describe tasawuf, which is focusing on the development history, various madzhab, and its teaching cores. The development of tasawuf has divided into five periodes formation, development, consolidation, philosophical, and purification. Within its development‟s history tasawuf has three main madzhab with their respective loyal followers. All of those madzhab have agreed that the main teaching of tasawuf is cleaning the sould to be able to be closed to God with the certain methods. Those mazhabs have different opinions on the form of the method, stage of maqamat, and the existence of ahwal. Key words Tasawuf, Sejarah, Madzhab, Ahwal, Maqamat A. PENDAHULUAN Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam salah satu Hadis yang menerangkan tentang Islam, Iman, dan Ihsan, Tasawuf merupakan perwujudan dari salah satu ketiga pilar syari‟at tersebut, yakni Ihsan. Lihat Arba‟in Nawawi atau Abu Abdullah Muhammad al Mughirah dan Abu Husain Muslim al Qusyairi, al-Lu‟lu‟ wa al Marjan Jilid I, tkt. Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt., h. 2. 98 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 Jadi, tasawuf adalah bagian dari syari‟at Islam, atau dengan kata lain bahwa Syari‟at Islam juga memuat ajaran tentang tasawuf. Dengan dasar pemikiran ini, maka menganaktirikan tasawuf atau kajian atasnya merupakan hal yang kurang benar, sebab mereka dalam syari‟at Islam menduduki porsi dan posisi yang sama dengan kedua pilar Islam lainnya. Namun yang ironis, dalam realitanya penganaktirian tersebut terjadi, baik dengan memberikan stereotip negative terhadapnya maupun meninggalkan kajian mendalam atasnya. Mereka lebih suka dan nyaman mengkaji fiqih Islam dan kalam atau tauhid Iman. Dalam rangka menghilangkan atau minimal mengurangi stereotip negative dan keengganan dalam mengkaji tasawuf di atas, tulisan ini penulis tujukan. Mekipun tidak detail, karena terbentur dengan waktu dan halaman, setidaknya tulisan ini dapat memberi gambaran tentang apa itu tasawuf; bagaimana sejarah perkembangannya; siapa tokoh-tokohnya; apa inti ajarannya; dan madzhab-madzhab apa saja yang muncul di dalamnya. B. PENGERTIAN TASAWUF Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim al-Kufy w. 250 H meletakkan kata al-Sufi dibelakang namannya pada abad ke 3 Hijriyah. Menurut Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur, sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam mahabbah, namun mereka tidak menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi. Jadi tetap Abu Hasyim orang yang pertama memunculkan istilah etimologi, para ahli berbeda pendapat tentang akar kata tasawuf. Setidaknya ada ada enam pendapat dalam hal itu, yakni 1 kata suffah yang berarti emperan masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Hal ini karena amaliah ahli tasawuf hampir sama dengan apa yang diamalkan oleh para sahabat tersebut, yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan hidup dalam kesederhanaan.2 kata Shaf yang berarti barisan. Istilah ini dianggap oleh sebagian ahli sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf ialah seorang atau sekelompok orang yang membersihkan hati, sehingga mereka HM. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, h. 7-8. Julian Baldick, Islam Mistik Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, trej. Satrio Wahono, Jakarta Serambi, 2002. , h. 42. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 99 diharapkan berada pada barisan shaf pertama di sisi Allah Swt. 3 kata shafa yang berarti bersih, karena ahli tasawuf berusaha untuk membersihkan jiwa mereka guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. 4 kata shufanah, nama sebuah kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir. Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan dalam situasi yang penuh pergolakan ketika itu, ketika umat muslim terbuai oleh materialisme dan kekuasaan, sebagaimana kayu shufanah yang tahan hidup ditengah-tengah padang pasir yang tandus. 5 Kata Teoshofi, bahasa Yunani yang berarti ilmu ketuhanan, karena tasawuf banyak membahas tentang ketuhanan. 6 kata shuf yang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada masa awal memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit atau bulu domba wol.Perbedaan pendapat ini, jika diteliti muncul karena adanya perbedaan sudut pandang yang dipakai. Bagi penulis, perbedaan tersebut tidak menjadi problem, sebab ciri-ciri yang dijadikan landasan pengkaitan akar kata tasawuf di atas semuanya terdapat pada tasawuf itu sendiri. Meski demikian, penulis lebih setuju dengan pendapat yang ke-enam, yakni tasawuf berakar dari kata shuf wol. Hal ini karena kata tersebut lebih tepat baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan, maupun aspek kesejarahan. Dari segi kebahasaan, tasawuf adalah masdar bentuk ke-5 dari kata dasar s-w-f yang mengindikasikan tempat pertama orang yang menggunakan wol shuf. Lalu orang yang melakukannya disebut shufi atau mutashawwifun Isim Fa‟il bentuk ke-5. Selain itu, shuf wol juga pernah digunakan oleh Nabi dan Sahabat Badar sebagaimana dalam buku Al-Shuhrawardi, Awarif al-Ma‟arif, sebagai berikut Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 8-10 dan Baldick, Islam Mistik, h. 44-46. Orang Barat yang mengkaji Islam [Orientalis], menggunakan pembagian bentuk bahasa Arab sebagai berikut Bentuk I , ke-II , ke-III , ke-IV , ke-V , ke-VI , ke-VII , ke-VIII , ke-IX , ke-X , dan beberapa bentuk tambahan lagi. Lih. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Arabic Written, New York Spoken Language Services, inc, Eds. III, 1976, XIII. Gibb Ed., The Enciclopaedia of Islam Vol-X, Leiden BRILL, 1986, 313. Syukur, Menggugat Tasawuf, 100 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 Artinya“Dari Anas ibn Malik berkata bahwa Rasulullah Saw. Mendatangi undangan seorang hamba sahaya, beliau naik keledai dan mengenakan pakaian bulu domba” . Artinya”Hasan Bashri berkata Aku telah bertemu tujuhpuluh pasukan Badar yang mengenakan pakaian bulu domba” Dua keterangan yang diutarakan oleh Shuhrawardi diatas menunjukkan adanya bukti kesejarahan shuf dan juga sudah menjawab aspek kesederhanaan sebagaimana yang penulis utarakan sebelumnya. Selanjutnya, definisi tasawuf secara terminology juga tidak kalah banyak dengan definisi secara etimologi. Setidaknya terdapat 11 definisi tasawuf yang dimunculkan oleh para praktisi tasawuf. Ke sebelas definisi ini termuat dalam sebuah puisi Persia sebagai berikut What is Tasawwuf? Good character and awareness of God. That‟s all Tasawwuf is. And nothing more. What is Tasawwuf? Love and affection. It is the cure for hatred and vengeance. And nothing more. What is Tasawwuf? The heart attaining tranquality which is the root of religion. And nothing more. What is Tasawwuf? Concentrating your mind, which is the religion of Ahmad peace be upon him. And nothing more. What is Tasawwuf? Contemplation that travels to the Divine throne. It is a far-seeing gaze. And nothing more. Tasawwuf ia keeping one‟s distance from imagination and supposition. Tasawuf is found in certainly. And nothing more. Surrendering one‟s soul to the care of the inviplability of religion; this is tasawwuf. And nothing more. Tasawwuf is the path of faith and affirmation of unity; this is the incorruptible religion. And nothing more. Tasawwuf is the smooth and illuminated path. It is the way to the most exalted paradise. And nothing more. I have heard that the ecstasy of the wearers of wool comes from finding the taste of religion. And nothing more. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 101 Tasawwuf is nothing but Shari‟at. It is just this clear road. And nothing tasawuf dalam puisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa tasawuf adalah 1 akhlak mulia dan muraqabah kepada Tuhan Ihsan; 2 cinta dan kasih sayang Mahabbah kepada Tuhan; 3 inti atau akar agama guna mencapai kedamaian hati; 4 mengkonsentrasikan pikiran [sesuai ajaran Muhammad] kepada Allah [penyatuan]; 5 kontemplasi yang bertualang menuju tahta ketuhanan; 6 penjagaan seseorang terhadap imajinasi dan perkiraan guna mendapatkan keyakinan atau kepastian; 7 penyerahan jiwa kepada Tuhan; 8 jalan iman dan penegasan persatuan kepada Tuhan; 9 jalan yang halus dan diterangi untuk menuju surga yang paling mulia; 10 jalan untuk menemukan rasa agama [penghayatan mendalam, pen]; dan 11 syari‟at. Dari semua definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa pengertian tasawuf adalah bagian dari syari‟at islam yang memuat suatu metode untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki mak‟rifat dan atau inti rasa agama. Tasawuf dikategorikan syari‟at karena ia merupakan salah satu dari tiga pilar Syari‟at Islam, yakni Islam Fiqih, Iman Tauhid, dan Ihsan Tasawuf.Dikatakan sebagai metode, karena tasawuf merupakan suatu cara, baik dengan cara memperbaiki akhlak lahir dan batin, mujahadah, kontemplasi, ishq dan mahabbah, mengikuti semua yang dianjurkan oleh Nabi sunnah-sunnah, penyucian jiwa riyadhoh, tirakat, jw, maupun dengan cara lain sesuai dengan kemampuan dan kecondongan masing-masing. Dan kemudian penyertaan „mencapai kebenaran dan seterusnya‟ merupakan tujuan akhir tasawuf sesuai dengan madzhab-madzhab yang ada di dalamnya. Terkait madzhab-madzhab yang terdapat dalam tasawuf akan penulis jelaskan pada sub bab tersendiri nanti. C. TASAWUF DAN MISTISIME Sebuah Klarifikasi Istilah Sebelum jauh, perlu kiranya disini penulis jelaskan tentang istilah „mistisisme‟ yang sering diidentikkan kepada atau digunakan oleh para -, “What is Tasawwuf?”, An Anonymous Persian Poem, trans. Godlas, artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, Lih. Arba‟in Nawawi 102 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 peneliti „Barat‟ atau „ter-Barat-kan‟ untuk menyebut tasawuf. Selama ini kedua istilah tersebut dianggap sama, „Tasawuf‟ adalah „Mistikisme‟ dan „Mistikisme‟ adalah „Tasawuf‟. Pemahaman ini tidak hanya diyakini oleh para „Orientalis‟, namun juga oleh para pemikir Islam Indonesia seperti Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat dan Mistisisme dalam Islam”. Tidak hanya itu, bahkan kamus Ilmiah Populer yang banyak tersebar di Indonesia pun juga menyamakan atau mengartikan „Mistikisme‟ dengan Sufisme; Tasawuf; Suluk. Pertanyaannya di sini ialah, Bisakah atau Cukupkah istilah „Mistisisme‟ digunakan untuk menyebut atau mewakili „Tasawuf‟? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kiranya diketahui terlebih dahulu apa itu „Mistikisme‟. Kata „Mistikisme‟ merupakan gabungan dua kata dari „Mistik Mystic‟ dan „isme ism‟. Kata Mistik Mystic, dalam Kamus Inggris-Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan „Kebatinan; Klenik; Gaib‟. Kemudian, jika digabung dengan kata „isme‟ atau „ism‟ yang menunjukkan suatu faham atau madzhab, maka Mistikisme Mysticism mempunyai arti „Faham atau madzhab Kebatinan, Klenik, atau Gaib‟. Sedangkan secara istilah „Mistikisme‟ didefinisikan sebagai usaha mencapai yang tak terbatas dan untuk menjadi identik dengannya baik melalui beberapa macam konnaturalitas maupun melalui penghancuran total identitas personal dan pengembalian pada kondisi primordial yaitu kesatuan yang tidak dapat dengan arti „Mistikisme‟ dan juga pengertian „Tasawuf‟ sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa istilah „Mistikisme‟ tidak cukup untuk mewakili istilah „Tasawuf‟. Sebab, pada realitanya, tasawuf tidak hanya mencakup persoalan „Kebatinan atau Klenik‟, namun juga mencakup persoalan „kebaktian, kesalehan, dan ketaatan‟ atau yang sering disebut dengan „Asketisme‟ atau „Zuhud‟. Menurut Zulkifli, Mistikisme merupakan bagian dari tasawuf, bukannya tasawuf itu sendiri. Menurutnya, mistikisme tepat jika ditujukan pada salah satu madzhab Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya ARKOLA, 1994, h. 474. John M. Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta Gramedia, cet. XXV, 2003, h. 389. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta Pusat Bahasa, 2008, h. 145. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Kartanegara, Jakarta Pustaka Jaya, 1986, h. 327. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 103 tasawuf, yakni tasawuf falsafi yang dimandegani oleh Muhyidin ibn al-„Arabi, Abu Yazid al-Bistomi, Abu Mansur al-Hallaj dan yang senada TASAWUF DARI WAKTU KE WAKTU Sebuah Kajian Historis Dalam mengkaji dan mendeskripsikan sejarah, para sejarawan menggunakan beberapa metode. Metode yang umum digunakan ialah metode periodic dan metode yang melihat perkembangan pemikiran atau peradaban yang umum dari masa ke masa. Kemudian, pada kajian ini penulis memilih untuk menggunakan kedua metode tersebut secara bersamaan. Jadi, nanti penulis akan membagi perkembangan tasawuf dari mulai masa pembentukan, pengembangan, konsolidasi, falsafi, hingga masa pemurnian. Pada setiap fase masa tersebut penulis juga akan memasukkan tahun atau abad, tokoh-tokoh, dan pemikiran yang dominan ketika itu. Singkatnya, di sini penulis menggunakan model pembahasan yang digunakan oleh Amin Syukur dalam bukunya Menggugat Tasawuf. a. Masa Pembentukan Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada masa awal Islam [nabi dan khulafaur Rasyidin] istilah tasawuf belum dikenal. Meski demikian, bukan berarti praktek seperti puasa, zuhud, dan senadanya tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Abdullah ibn Umar yang banyak melakukan puasa sepanjang hari dan shalat atau membaca al-Qur‟an di malam harinya. Sahabat lain yang terkenal dengan hal itu antara lain Abu al-Darda‟, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zaubaid, dan Kahmas paruh kedua Abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri 642-728M, seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Hasan Basri tampil pertama dengan mengajarkan ajaran khauf takut dan raja‟ berharap, setelah itu diikuti oleh beberapa guru yang mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohaniahan dikalangan yang muncul pada abad ini yakni khauf, raja‟, ju‟ sedikit makan, sedikit bicara, sedikit tidur, zuhud menjauhi dunia Zulkifli, Sufisme di Jawa Peran Pesantren dalam Pemeliharaan Sufisme di Jawa, terj. Ali Mashar, belum terbit, 7-9. Judul asli, Sufism in Java The of The Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java, Jakarta INIS, 2002, h. 3-4. Syukur, Menggugat Tasawuf, Ibid., 104 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 khalwat menyepi, shalat sunnah sepanjang malam dan puasa disiang harinya, menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak membaca al-Qur‟an dan lain-lainnya. Para zahid ketika ini sangat kuat memegang dimensi eksteral Islam Syari‟ah dan pada waktu yang sama juga menghidupkan dimensi internal Bathiniyyah.Kemudian pada abad II Hijriyah, muncul zahid perempuan dari Basrah-Irak Rabi‟ah al-Adawiyah w. 801M/185 H. Dia memunculkan ajaran cinta kepada Tuhan Hubb al-Ilah. Dengan ajaran ini dia menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt tanpa atau menghilangan harapan imbalan atas surga dan karena takut atas ancaman neraka. Pada abad ini tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni bercorak kezuhudan. Meski demikian, pada abad ini juga mulai muncul beberapa istilah pelik yang antara lain adalah kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, menolak pemberian orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, melakukan safar, memperbanyak dzikir dan riyadlah. Tokoh yang mempernalkan istilah ini antara lain Ali Syaqiq al-Balkhy, Ma‟ruf al-Karkhy dan Ibrahim ibn Masa Pengembangan Masa pengembangan ini terjadi pada kurun antara abad ke-III dan ke-IV H. Pada kurun ini muncul dua tokoh terkemuka, yakni Abu Yazid al-Bushthami H. dan Abu Mansur al-Hallaj w. 309 H.. Abu Yazid berasal dari Persia, dia memunculkan ajaran fana‟ lebur atau hancurnya perasaan,Liqa‟ bertemu dengan Allah Swt dan Wahdah al-Wujud kesatuan wujud atau bersatunya hamba dengan Allah Swt. Sementara Al-Hallaj menampilkan teori Hulul inkarnasi Tuhan, Nur Muhammad dan Wahdat al-Adyan kesatuan agma-agama. Selain itu, para sufi lainnya pada kurun waktu ini juga membicarakan tentang Wahdat al-Syuhud kesatuan penyaksian, Ittishal berhubungan dengan Tuhan, Jamal wa Kamal keindahan dan kesempurnaan Tuhan, dan Insan al-kamil manusia sempurna. Mereka Ibid., Fakhry, Sejarrah Filsafat Islam, h. 329. Che Zarrina Binti Sa‟ri, “Tokoh Sufi Wanita Rabi‟ah al-„Adawiyyah Motivator ke Arah Hidup Lebih Bermakna”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil 12, 2007, h. 29-43. Syukur, Menggugat Tasawuf, Menurut Baldick, pada data-data awal, al-Bustomi tidak ditemukan mengajarkan doktrin Fana‟, baru pada sumber-sumber terkemudianlah doktrin Fana‟ terdapat dalam kisah Sindi yang mengajari al-Bustomi. Baldick, Islam Mistik, h. 53. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 105 mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak akan dapat diperoleh tanpa melakukan latihan yang teratur Riyadhah.Selain munculnya tasawuf yang cenderung pada syathahiyat, sejenis ungkapan-ungkapan ganjil atau ekstatik,dan semi-falsafi yang dimandegani oleh dua tokoh di atas, pada kurun ini juga mulai muncul gerakan banding yang dimandegani oleh Syeikh Junaid al-Baghdadi. Dia memagari ajaran-ajaran tasawufnya dengan al-Qur‟an dan al-Hadis dengan ketat dan mulai meletakkan dasar-dasar thariqah, cara belajar dan mengajar tasawuf, syeikh, mursyid, murid dan murad. Dengan kata lain, pada kurun ini muncul dua madzhab yang saling bertentangan, yakni madzhab tasawuf Sunni al-Junaid dan madzhab Tasawuf semi-Falsafi Abu Yazid dan al-Hallaj. Perlu diketahui pula bahwa pada kurun ini tasawuf mencapai peringkat tertinggi dan jernih serta memunculkan tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi panutan para sufi Masa Konsolidasi Masa yang berjalan pada kurun abad V M. ini sebenarnya kelanjutan dari pertarungan dua madzhab pada kurun sebelumnya. Pada kurun ini pertarungan dimenangkan oleh madzhab tasawuf Sunni dan madzhab saingannya tenggelam. Madzhab tasawuf Sunni mengalami kegemilangan ini dipengaruhi oleh kemenangan madzhab teologi Ahl Sunnah wa al-Jama‟ah yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy‟ari w. 324 H. Dia melakukan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid dan al-Hallaj sebagaimana yang tertuang dalam syathahiyat mereka yang dia anggap melenceng dari kaidah dan akidah Islam. Singkatnya, kurun ini merupakan kurun pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasan awalnya, al-Qur‟an dan al-Hadis. Tokoh-tokoh yang menjadi panglima madzhab ini antara lain Al-Qusyairi 376-465 H, Al-Harawi w. 396 H, dan Al-Ghazali 450-505H. Al-Qusyairi adalah sufi pembela teologi Ahlu Sunnah dan mampu mengompromikan syari‟ah dan hakikah. Dia mengkritik dua hal dari para sufi madzhab semi-falsafi, yakni syathahiyat dan cara berpakaian yang menyerupai orang miskin padahal tindakan mereka Syukur, Menggugat Tasawuf, Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terj. A. Thoha, Jakarta Pustaka Firdaus, cet. II, 2000, h. 641. Syukur, Menggugat Tasawuf, Muzakkir, Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer Perjalanan Neo-Sufisme, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 26, 2007, h. 63-70. 106 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 bertentangan dengannya. Menurut al-Qusyairi kesehatan batin dengan memegang teguh ajaran al-Qur‟an dan al-Hadis lebih penting dripada pakaian lahiriyah. Tokoh kedua ialah Al-Harawi. Dia bermadzhab Hanabilah, maka tidak heran jika dia bersikap tegas dan tandas terhadap tasawuf yang dianggap menyeleweng. Hal yang dikritik oleh Al-Harawi atas ajaran tasawuf semi-falsafi adalah ajaran fana‟ yang dimaknai sebagai kehancuran wujud sesuatu yang selain Allah Swt. Kemudian dia memberikan pemaknaan baru atas fana‟ tersebut dengan ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan, Allah Swt. Selain itu, Al-Harawi juga mengkritik syathahiyat. Terkait ini dia menyatakan bahwa syathahiyat hanya muncul dari hati seseorang yang tidak tentram atau ketidaktenangan. Kemudian tokoh yang terakhir ialah Al-Ghazali. Dia merupakan tokoh pembela teologi sunni terbesar, bahkan lebih besar dibanding sang pendirinya, Abu Hasan Al-Asy‟ menjauhkan ajaran tasawufnya dari gnostis sebagaimana yang mempengaruhi para filosog muslim, sekte Isma‟iliyah, Syi‟ah, Ikhwan Shafa dan lain-lain. Ia juga menolak konsep ketuhanan Aristoteles, yakni emanasi dan penyatuan. Terkait teori kesatuan, al-Ghazali menyodorkan teori baru tentang ma‟rifat dalam taqarrub ila Allah, tanpa diikuti penyatuan Masa Falsafi Pada masa abad VI dan VII H ini muncul dua hal penting yakni; Pertama, kebangkitan kembali tasawuf semi-falsafi yang setelah bersinggungan dengan filsafat maka muncul menjadi tasawuf falasafi, dan kedua, munculnya orde-orde dalam tasawuf thariqah. Tokoh utama madzhab tasawuf falasafi antara lain ialah Ibnu „Arabi dengan wahdat al-Wujud, Shuhrawardi dengan teori Isyraqiyyah, Ibn Sabi‟n dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori cinta, fana‟ dan Wahdat al-Syuhud-nya. Sementara orde-orde tasawuf yang muncul pada kurun ini terutama pada abad ke VII H antara lain 1 Tarekat Qadiriyyah, didirikan oleh „Abd al-Qadir Jilani w. 1166 M. dan berpusat di Baghdad. 2 Tarekat Naqshabandiyah, didirikan oleh Muhammad ibn Baha‟ al-Din H. dan didirikan di Asia Tengah. Michael E. Marmura, “Ghazali and Ash‟arism Revisited”, dalam Arabic Sciences and Philosophy, Vol. 12, 2002, h. 91-110. Ibid., h. 36-39. Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 40. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 107 3 Tarekat Maulawiyah Rumiyah, didirikan oleh Jalal al—Din Rumi w. 1273 M, Persia. 4 Tarekat Bekhtasyiyah, didirikan oleh al-Bekhtasyi, Turki. 5 Tarekat Tijaniyah, oleh al—Tijani pada tahun 1781 M di Fez-Maroko. 6 Tarekat Daraquiyah, oleh Maulana „Arabi Darqawi w. 1823 M. di Fez-Maroko. 7 Tarekat Khalwatiyah, didirikan di Persia pada abad 13 M. 8 Tarekat Suhrawardiyah, oleh Suhrawardi al-Maqthul di Irak. 9 Tarekat Rifa‟iyah, oleh al-Rifa‟I w. 1187 M di Irak. 10 Tarekat Sadziliyah, oleh al-Sadzili w. 1258 M. di Tunis. 11 Tarekat Khishtiyah, oleh Mu‟in al-Din Chisthi di Ajmer-India. 12 Tarekat Sanusiyah, oleh al-Sanusi w. 18377 M di Libya. 13 Ttarekat Ni‟matulahiyah, didirikan di Persia dan kemudian di India Isma‟iliyyah. 14 Tarekat Ahmadiyah, oleh Ahmad al-Badawi w. 1276 M. di Mesir dengan pusat di Masa Pemurnian Menurut Arberry sebagaimana dikutip Amin Syukur, pada Ibn „Arabi, Ibn Faridh, dan ar-Rumi adalah masa keemasan gerakan tasawuf baik secara teoritis maupun praktis. Pengaruh dan praktek-praktek tasawuf tersebar luas melalui tarekat-tarekat. Bahkan para sultan dan pangeran tidak segan-segan lagi mengeluarkan perlindungan dan kesetiaan pribadi kepada mereka. Meski demikian, lama kelamaan timbul penyelewengan-penyelewengan dan skandal-skandal yang berakhir pada penghancuran citra baik tasawuf itu sendiri. Singkatnya, pada waktu itu tasawuf dihinggapi ,menurut pandangan Arberry, bid‟ah, khurafat, klenik, pengabaian Syari‟at, hokum-hukum moral, dan penghinaan ilmu fenomena di atas, munculah Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran yang dia anggap menyeleweng tersebut. dia ingin mengembalikan kembali tasawuf kepada sumber ajaran Islam, al-Qur‟an dan al-Hadis. Hal yang dikritik Ibn Taimiyah antara lain ajaran Ittihad, hulul, wahdat al-Wujud, pengkultusan wali dan lain-lain yang dia anggap bid‟ah, khurafat, dan takhayyul. Dia masih memberikan toleransi atas ajaran fana‟, namun dengan pamaknaan yang berbeda. Dia membagi fana‟ menjadi tiga bagian, yakni 1 fana‟ Ibadah, lebur dalam ibadah, 2 fana‟ syuhud al-Qalb, Ja‟far Shodiq, Pertemuan Tarekat dan NU, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2008, h. 31. ”Sufism”. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 12 Feb 2010. Syukur, Menggugat Tasawuf, h. 41-43. 108 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 fana‟ pandangan batil, dan 3 fana‟ wujud mas Siwa Allah, fana‟ wujud selain Allah. Menurutnya, fana‟ yang masih sesuai dengan ajaran Islam ialah jenis fana‟ yang pertama dan kedua, sementara jenis fana‟ yang ketiga sudah menyeleweng dan pelakunya dihukumi kafir, sebab ajaran tersebut beranggapan bahwa „wujud Khaliq‟ adalah „wujud Makhluq‟.Kemudian, secara garis besar, ajaran tasawuf Ibn Taimiyah tidak lain ialah melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti madzhab tarekat tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam kegiatan social sebagaimana kalayak umum. E. MADZHAB DALAM TASAWUF Secara garis besar madzhab tasawuf, berdasarkan kecenderungan dan karakteristiknya, dapat dibagi menjadi tiga madzhab, yakni tasawuf falsafi, tasawuf salafi, dan tasawuf sunni akhlaqi/ amali. 1. Tasawuf Falsafi Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, mengkompromikan atau memakai terma-terma filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Madzhab ini juga sering dikenal dengan madzhab „Mistikisme Islam‟ atau madzhab yang sangat dekat dengan „Gnostisisme‟. Tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori ini antara lain Abu Yazid al-Bustomi, Abu Mansur al-Hallaj, Ibn „Arabi, Ibnu Sina, Ibnu Sab‟in, Ibnu al-„Afif, Ibn al-Faridl, al-Najm al-Israili, dan yang senada dengan ajaran-ajaran atau istilah-istilah yang sering dimunculkan ialah wahdat al wujud, wahdat al adyan, wahdat asyuhud, hulul, fana‟, liqa‟, ittishal, ittihad, isyraqiyyah, Nur Muhammad dan cinta. Lantas, metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, madzhab ini menggunakan metode maqamat, ahwal, riyadhah, mujahadah, dzikir, mematikan syahwat, tazkiyatun nafs wa qalb dan lain-lainnya sebagaimana madzhab tasawuf Tasawuf Salafi Tasawuf salafi adalah tasawuf yang selalu melandaskan ajaran-ajarannya dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah secara ketat. Apa yang tidak Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Peradaban Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta Paramadina, cet. Ke-4, 2000, h. 257-266. Abu al-„Ala „Affifi, at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam, Kairo tp., 1962, h. 92. Ibid., Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 109 diperintahkan atau diamalkan oleh Nabi bukan tasawuf Islam. Tasawuf ini berusaha memurnikan tasawuf dari bid‟ah, khurafat dan tahayul. Tokoh yang termasuk dalam madzhab ini mayoritas mereka yang dalam fiqih mengikuti Madzhab Hanbaliyah, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Waliyullah al-Dihlawi dan Muahmmad ajaran tasawufnya ialah menghayati ajaran Islam dan melakukan apa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw, seperti shalat sunah, puasa sunah dan lain sebagainya, yang terpenting ada sumber atau nash yang menerangkan hal Tasawuf Akhlaqi/ Sunni Tasawuf Akhlaqi adalah tasawuf yang mengikatkan diri dengan al-Qur‟an dan al-Hadis, namun diwarnai pula dengan interpretasi-interpretasi baru dan menggunakan metode-metode baru yang belum dikenal pada masa generasi awal, salaf. Tujuan akhir dari praktek tasawuf madzhab ini adalah terbentuknya moralitas yang sempurna dan menuai Ma‟rifat Allah. Oleh sebab tujuan inilah madzhab ini juga dikenal dengan tasawuf akhlaqi. Kemudian, jika dilihat berdasarkan karakteristik bentuknya, madzhab ini bias pula dikatakan sebagai madzhab moderat atau penengah antara madzhab tasawuf falsafi yang cenderung bebas dan madzhab tasawuf salafi yang cenderung fenomenal madzhab ini ialah Imam al-Ghazali, dan diikuti oleh mayoritas penganut teologi Asy‟ari dan Maturidi. Inti ajarannya ialah keseimbangan antara syari‟ah dan hakikah, ma‟rifat, akhlak, fana‟, maqamat, tauhid, dan taqarrub ila Allah. Metode pencapaiaannya antara lain mujahadah, dzikir, tazkiyah an nafs wa qalb, riyadhah, kontemplasi, tafakkur, dan AJARAN DAN METODE TASAWUF Kajian atas Maqamat dan Ahwal Meskipun berbeda-beda pendapat dan perwujudan, secara garis besar, para praktisi tasawuf bisa dikatakan sepakat bahwa ajaran tasawuf ialah Tazkiyyah al-Nafs penyucian diri, baik penyucian badan, ucapan, Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf, Kudus STAIN Kudus Press, 2007, h. 12-13. Ibid.,h. 1. Abd al-Qadir Mahmud, al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam, Beirut Dar al-Fikr, 1996, h. 78. Ibid. 110 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 pemikiran, hati, maupun jiwa; dan pengesaan Allah Swt., melalui Takhalliyyah al-Nafs, Tahalliyyah al-Nafs, dan Tajalliyyah al-Nafs guna mencapai kedekatan atau penyatuan dengan Allah Swt. Ajaran-ajaran ini oleh para sufi disebut dengan maqamat dan Maqamat Para sufi mendefinisikan maqamat sebagai suatu tahap adab kepada Allah dengan bermacam usaha yang diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah menuju kepada-Nya. Lebih mudahnya, maqamat adalah tahap atau titik pemberhentian untuk mencapai tujuan tasawuf yang harus dilalui satu demi satu oleh salik. Dalam jumlah dan urutan maqamat para sufi berbeda pendapat. Namun yang popular adalah maqam Taubah, Zuhd, Sabr, Tawakkal, dan Rida. Untuk penjelasannya sebagai berikut a. Taubah Untuk maqam taubah, para sufi sepakat menempatkannya pada tahap pertama. Hal ini karena, menurut kesepakatan para sufi, bahwa untuk dapat mendekat kepada Allah Swt yang Maha Suci, tidak akan mungkin jika sang salik masih berlumuran dengan dosa. Ia harus bersih terlebih dahulu sebelum mendekat kepada-Nya. Pembersihan diri dari dosa inilah pengertian dari maqam Zuhd Secara definitif zuhd adalah mengabaikan kehidupan duniawi. Hal ini karena, menurut kaum sufi, kehidupan duniawi adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya kejahatan dan dosa. Oleh karena itu, ia harus ditinggalkan. Maqam zuhd ini sangat erat dengan maqam taubah, sebab taubat tidak akan mungkin berhasil selama hati salik masih didominasi Hazrat Mohammad Khadim Hasan Shah, “Tasawuf”, trans. Syed Mumtaz Ali, dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb 2010. Khairunnas Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. 1-28. Imam al-Qusyairy al-Naisaburi, Risalah Qusyairiyyah, terj. Lukman Hakim, Surabaya Risalah Gusti, 1999, h. 23. Terkait polemic ini lihat, Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta Pustaka Bulan Bintang, 1993, h. 2. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf , h. 230-231. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 111 kecenderungan dan kesenangan duniawi. Namun, dengan pendapat ini, Ibn Taimiyyah tidak sependapat. Menurutnya, zuhd tidak harus meninggalkan semua materi duniawi, tetapi memilah dan memilih. Jika ia merugikan bagi kehidupan akhirat, maka ia harus ditinggalkan. Jika tidak, maka juga tidak boleh Sabr Sabr bukanlah sesuatu yang harus menerima seadanya, namun malah sebaliknya, yaitu berusaha secara sungguh-sungguh dalam menahan diri dalam memikul suatu penderitaan baik dalam suatu perkara yang tidak diingini maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi. Sabr juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk perintah maupun larangan. Jadi, sabr adalah menahan diri dari kecenderungan hawa nafsu terhadap perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Tawakkal Secara definitif umum, Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan kepada takdir Allah Swt. sepenuh jiwa dan raga. Kemudian, menurut para sufi, Tawakkal dimaknai sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketentraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka ia harus bersukur dan ketika dalam keadaan duka ia harus bersabar. Dengan kata lain, dalam keadaan apapun, sang salik tidak diperbolehkan resah dan gelisah, apalagi mencela takdir Allah Rida Rida adalah puncak kecintaan yang diperoleh sang salik selepas menjalani proses ubudiyyahi kepada Allah Swt. yang panjang. Menurut al-Ghazali, kelebihan rida Allah Swt merupakan manifestasi dari keridaan hamba. Rida terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Allah yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan-Nya agar senantiasa dekat h. 232. Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf” , h. 1-28. Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta Pustaka Ruhama, 1994, h. 169. Imam al-Ghazali, al-Mukasyafat al-Qulub, terj. Ahmad Sunarji, Bandung Pustaka Husaini, 1996, h. 346. 112 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 2. Ahwal Ahwal tidak lain adalah sesuatu anugerah spiritual pemberian Allah Swt kepada sang salik karena ketaatan dan ibadahnya yang secara terus-menerus. Jadi, ahwal adalah bersifat pemberian, bukan diusahakan sebagaimana maqamat. Menurut Rajab, ahwal dalam tasawuf yang populer antara laina. Khauf Dalam terma tasawuf, khauf adalah hadirnya perasaan takut ke dalam diri sang salik karena dihantui oleh perasaan dosa dan ancaman yang akan menimpanya. Saat rasa ini menghampirinya, sang salik akan merasa tenteram dan tenang karena kondisi hatinya yang semakin dekat dengan Allah Swt. Perasaan ini juga akan menghalanginya untuk melarikan diri dari Allah Swt, dan membuatnya selalu ingat serta ta‟dzim Tawaddu‟ Secara definitif tawaddu‟ adalah kerendahan hati seorang hamba kepda kebenaran dan kekuasaan Tuhannya. Dengan rasa ini, kesombongan sang salik kepada Tuhannya dan juga makhluk Tuhan lainnya akan hilang sirna, sebab ia merasa rendah. Oleh karena itu, jika seseorang sudah sampai atau telah mendapatkan ahwal ini, maka ia tidak akan bersikap pilih kasih dengan siapapun. Sebab ia memandang semuanya adalah sama dan Ikhlash Dalam ajaran tasawuf, ikhlash merupakan suatu hal yang bersifat bathiniyyah dan teruji kemurniannya dengan amal soleh. Ia adalah perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Dengan ini, sang salik dalam melakukan apapun hanya semata karena Allah Swt., bukan Taqwa Secara umum, taqwa berarti memelihara diri dari larangan Allah Swt. dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Sedangkan menurut terma tasawuf, taqwa adalah usaha penjagaan dari tergelincirnya diri dalam syirik, dosa, kejahatan, dan hal-hal yang subhat, termasuk didalamnya ialah lupa kepada Allah “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, Ibid., „Abdullah al-Anshari al-Harawi, Kitab Manazil al-Sairin, Beirut Dar al-Kutub „Ilmiyyah, 1988, h. 60. Ibid, h. 40-41. al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah, Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 113 e. Shukur Para sufi memaknai shukr dengan kesan kesadaran rasa terima kasih manusia terhadap rahmat dan karunia yang diterimanya dari Allah Swt. Hadirnya sifat ini, dalam diri manusia, akan memperlihatkan nilai positif atas diri manusia itu sendiri, yakni perwujudan integritasnya dengan Allah dan Mutma‟innah Mutma‟innah secara etimologi berarti ketenangan, sementara secara istilah tidak lain ialah satu kesan batin di mana ketentraman, karena dekat dengan Allah Swt, selalu menyelubunginya. Dan juga ada yang mengartikan sebagai kondisi psikologi yang tenteram dengan selalu mengingat Allah, mengerjakan amal soleh dan ber-taqarrub kepada-Nya. Menurut „Abdullah al-Anshari, mutma‟innah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu 1 mutma‟innah hati karena menyebut asma Allah; 2 ketika mencapai tujuan pengungkapan hakikat; dan 3 karena menyaksikan kasing Ajaran-Ajaran yang Diperdebatkan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat beberapa ajaran yang masih dalam polemik. Ajaran-ajaran ini pada umumnya merupakan ajaran-ajaran yang masuk dalam kategori madzhab tasawuf falsafi dan sedikit dalam madzhab tasawuf sunny. Ajaran-ajaran tersebut antara lain a. Al-Ma‟rifah Secara harfiah, al-ma‟rifah berarti pengetahuan. Sedangkan dalam terma tasawuf ia diartikan sebagai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan melalui hati sanubari. Dan pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas, sehingga hati merasa bersatu dengan yang diketahui. Jadi, perantara antar keduanya, hamba dan Tuhan, dalam al-ma‟rifah ini adalah hati. Maka dari itu, menurut penganut ajaran ini hati dan pembersihan atasnya adalah sangat fital dan penting. Dalam prosesnya, ruh berfungsi untuk mencintai atau rindu kepada Allah Swt. dan sirr, yang dikandung ruh, berfungsi untuk kontemplasi dan berfikir tentang Allah sehingga sang salik dapat berkomunikasi dengan-Nya. Selain al-ma‟rifah, ajaran ini juga dikenal dengan al-kasyf, mukasyafah, sufi yang sangat getol memperjuangkan ajaran ini Rajab, “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, h. 1-28. al-Harawi, Kitab Manazil al-Sairin, h. 53-54. Al-Qusayiri, Risalah Qusyairiyah, h. 98. 114 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 antara lain Imam al-Ghazali, Ma‟ruf al-Karkhi, Abu Sulaiman al-Darani, dan Dzun Nun Al-Mahabbah Al-mahabbah dicetuskan oleh Rabi‟ah al-Adawiyah, dan menurutnyaa ia dalah inti dari tasawuf. Menurutnya, al-hubb akan membawa seseorang pada keridaan atau memberikan ketaatan tanpa disertai dengan penyangkalan, shawq kerinduan yang mendalam untuk bertemu Tuhannya, dan Uns mempunyai hubungan spiritual yang intim yang terjalin antara sang pecinta dengan dengan yang dicinta,Tuhan.c. Al-Fana‟ Menurut al-Ghazali, al-fana‟ adalah maqamat terakhir sebelum menuju atau memperoleh al-ma‟rifah. Jadi, poin sangat penting dilalui oleh sang-salik, jika ia ingin mendapatkan pengetahuan sejati dari Tuhannya. Poin ini, masih menurut al-Ghazali, merupakan proses beralihnya kesadaran diri dari alam inderawi ke alam kejiwaan dan alam ketuhanan. Dalam perkembangannya, al-Fana‟ terbagi menjadi dua, yakni al-Fana‟ fi at-Tauhid, hilangnya kesadaran tentang segala sesuatu selain Allah ketika seseorang larut dalam pengalaman ketuhanan; dan al-Fana‟fi al-Ittihad, yaitu sirnanya segala sesuatu selain Allah sehingga sang salik tidak mampu lagi menyaksikan dirinya sendiri karena telah lebur dengan yang disaksikan, Al-Ittihad Al-ittihad merupakan proses kelanjutan dari al-fana‟ dan al-ma‟rifah. Sebab, ia adalah kondisi puncak penghayatan salik atas al-fana‟ dan al-ma‟rifah, sehingga dirasakan telah bersatu dengan Tuhan. Pandangan ini adalah sebagai konsekwensi logis dari dasar filosofi jiwa manusia yang merupakan aspek immateri manusia yang mempunyai relasi ontologis dengan Tuhan. Barangsiapa yang mampu melepaskan dirinya dari ikatan materi, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada Tuhan yang tidak lain adalah Al-Hulul dan Wahdah al-Wujud Kedua ajaran ini adalah kelanjutan dari ajaran al-ittihad. Al-hulul, yang diperkenalkan oleh Abu Mansur al-Hallaj, merupakan Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 152-153. Zarrina, “Tokoh Sufi Wanita , h. 29-43. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, h. 146-147. Ibid., h. 158. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 115 kelanjutan langsung dari al-ittihad sementara wahdah al-wujud, yang dimandegani oleh Ibnu „Arabi, kelanjutan atau perluasan dari al-hulul. G. PENUTUP Dari uraian di atas, maka bias disimpulkan bahwa tasawuf merupakan bagian dari syari‟at Islam yang memfokuskan ajarannya pada penyucian jiwa guna mencapai kedekatan, kecintaan, atau kesatuan dengan Allah Swt. Kemudian secara bahasa, istilah tasawuf baru muncul pada abad ke II Hijriyah dan berasal dari akar kata shuf/ shaf/ shuffah/ shufanahshafa. Lalu secara istilah definisi tasawuf bias disimpulkan sebagai bagian syari‟at islam yang memuat suatu metode untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara hamba dan Tuhan dan juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki mak‟rifat. Secara historis, perkembangan tasawuf bias dibagi menjadi beberapa tahap masa, yakni, masa pembentukan; masa pengembangan; masa konsolidasi; masa falsafi; dan masa pemurnian. Dari uraian secara histories tersebut, juga bias diketahui madzhab-madzhab dan inti ajarannya. Secara garis besar madzhab dalam tasawuf ada tiga, yakni tasawuf falsafi yang ajarannya dekat dengan filsafat, tasawuf salafi yang ajarannya ketat merekat pada al-Qur‟an dan al-Hadis, dan tasawuf akhlaqi yang ajarannya menempati posisi tengah-tengah diantara kedua madzhab sebelumnya, dia selain mendasarkan diri pada al-Qur‟an dan al-Hadis juga mengaitkan dengan ihwal dan maqamat. Kemudian yang terakhir, terkait maqamat dan ahwal, yang tidak lain adalah inti ajaran dan metode tasawuf, para sufi mengalami perbedaan pendapat baik dari segi urutan maupun poin-poin yang dimasukkan kedalamnya. Maqamat yang di sepakati dan populer antara lain maqam taubah, zuhd, sabr, tawakkal, dan rida. Sedangkan ahwal yang populer yakni ihwal khauf, shukr, taqwa, tawaddu‟, ikhlas, dan mutma‟innah. Selain itu, terdapat beberapa ajaran yang menjadi polemik, yakni al-ma‟rifah, al-mahabbah, al-fana‟, al-ittihad, al-hulul, dan wahdah al-wujud. Ibid, h. 162 dan 167. 116 Vol. XII, No. 1, Januari – Juni 2015 BIBLIOGRAFI Al-Ghazali, Imam, al-Mukasyafat al-Qulub, Terj. Ahmad Sunarji Bandung Pustaka Husaini, 1996. Al-Harawi, „Abdullah al-Anshari, Kitab Manazil al-Sairin Beirut Dar al-Kutub „Ilmiyyah, 1988. „Affifi, Abu al-„Ala, at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam Kairo tp., 1962. Al-Naisaburi, Imam al-Qusyairy, Risalah Qusyairiyyah, Terj. Lukman Hakim, Surabaya Risalah Gusti, 1999. Baldick, Julian, Islam Mistik Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, Terj. Satrio Wahono Jakarta Serambi, 2002. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia Jakarta Pusat Bahasa, 2008. Echols, John M., dan Hassan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta Gramedia, cet. XXV, 2003. Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Kartanegara Jakarta Pustaka Jaya, 1986. Gibb, Ed., The Enciclopaedia of Islam Vol-X Leiden BRILL, 1986. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Arabic Written New York Spoken Language Services, inc, Eds. III, 1976. Jaya, Yahya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental Jakarta Pustaka Ruhama, 1994. Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, terj. A. Thoha Jakarta Pustaka Firdaus, cet. II, 2000. Muzakkir, Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer Perjalanan Neo-Sufisme, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 26, 2007, h. 63-70. Marmura, Michael E. “Ghazali and Ash‟arism Revisited”, dalam Arabic Sciences and Philosophy, Vol. 12, 2002, h. 91-110. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin Peradaban Sebuah Tela‟ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderna Jakarta Paramadina, cet. Ke-4, 2000. Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf Kritik Ibn Taimiyah atas Rancang Bangun Tasawuf Kudus STAIN Kudus Press, 2007. Mahmud, Abd al-Qadir, al-Falsafah at-Tasawwuf fi al-Islam Beirut Dar al-Fikr, 1996. Aly Mashar, Tasawuf Sejarah, Madzhab… 117 al Mughirah, Abu Abdullah Muhammad dan Abu Husain Muslim al Qusyairi, al-Lu‟lu‟ wa al Marjan Jilid I, tkt. Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt.. Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam Jakarta Pustaka Bulan Bintang, 1993. Partanto, Pius A dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer Surabaya ARKOLA, 1994. Rajab, Khairunnas “al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. 1-28. Syukur, HM. Amin, Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21 Yogyakarta Pustaka Pelajar, cet. II, 2002. Shodiq, Ja‟far, Pertemuan Tarekat dan NU Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2008. Sa‟ri, Che Zarrina Binti. “Tokoh Sufi Wanita Rabi‟ah al-„Adawiyyah Motivator ke Arah Hidup Lebih Bermakna”, dalam Jurnal Usuluddin, Bil 12, 2007, h. 29-43. Shah, Hazrat Mohammad Khadim Hasan, “Tasawuf”, Trans. Syed Mumtaz Ali. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb 2010. Zulkifli, Sufisme di Jawa Peran Pesantren dalam Pemeliharaan Sufisme di Jawa, Terj. Ali Mashar, belum terbit, Judul asli, Sufism in Java The of The Pesantren in The Maintenance of Sufism in Java Jakarta INIS, 2002. “What is Tasawwuf?”, An Anonymous Persian Poem. Trans. Godlas. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb 2010. “Sufism”. Dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 12 Feb 2010. Kurniawan Dwi SaputraAl-Ghazali is one of the greatest Muslim scholars. He is known as Hujjah al-Islām because of his success in defending Islamic orthodoxy in the face of heretical groups. However, Al-Ghazali is also not free from controversy. Among these criticisms is that Al-Ghazali had experienced a period of skepticism and inconsistent thinking. This research attempts to analyze Al-Ghazali's works and secondary books that explain Al-Ghazali's thoughts. This study uses a qualitative approach to the type of literature research. The topic of this research is the controversy surrounding skepticism and accusations of inconsistency in Al-Ghazali's thought. The steps in this study include topic selection, information exploration, focus determination, data collection, data presentation, and report preparation. The results of this study suggest that Al-Ghazali's skeptical period was not a problem because it happened in a short time and he did not produce any papers. The problem of Al-Ghazali's inconsistency arises because of the many works attributed to him but not actually Al-Ghazali's work or because of the different readers intended by Al-Ghazali in his different books, as stated by Dunya. In conclusion, this study argues that a comprehensive reading of Al-Ghazali's work is needed to provide a complete picture of Al-Ghazali's figure and the extent to which his works are Ashif FuadiThe discourse on the process of Islamization in Nusantara Indonesia still attracts academic attention. This article discusses the history of Islamization in Nusantara as represented by the book of Aḥlā al-Musāmarah written by Kiai Fadhol. He mentions Ten saints Walisepuluh as propagators of Islam in Java, adding one to the nine generally known as Walisongo. He also describes that Islam was brought to Nusantara by the scholars ulamā’ from Pasai, who carried dawah out through several channels of Islamization. Using the library research method, this article shows no significant difference between the Walisepuluh and the Walisongo characters. The Islamization of Nusantara presented in the book was intensified through the diaspora of kinship marriages, the education of the Pesantren Ampel Denta, which produced a network of students, and the establishment of Demak Kingdom, which strengthened the influence of Islam over the Javanese AlamsyahIrfan NoorDzikri NirwanaPurification movements usually tend to reject outright to Sufism, but KH. Mochjar Dahri as the purifier actually appreciated and accepted Sufism as part of Islamic teaching, although many Sufism teachings did not appropriate in the Qur'an and as-Sunnah which he criticized and renewed. Therefore, it is necessary to be studied deeper on his Sufism thoughts. This research aims to study the sufism thought of KH. Mochjar Dahri in the Mursyid al-Ibȃd ilȃ Sabȋl ar-Rasyâd and Ȃtsȃr at-Tashawwuf fȋ Hayȃt alMuslim. This type of research is a study of figure thought. The data are collected through literature and field study. As a result 1 KH. Mochjar Dahri’s thought related to sufism showed in Mursyid al-Ibȃd ilȃ Sabȋl ar-Rasyâd is about al-aqabât which includes taubah, tauhid, dzikir, sabar, syukur, tawakkal, ridhâ, and mahabbah. KH. Mochjar Dahri in his work used the term al-aqabât, whereas Sufi scholars usually use the term al-maqâmât, but the term al-aqabât mentioned above seems to have similarities, even though it has differences in the term of al-maqâm. The Sufism thoughts of KH. Mochjar Dahri in the Ȃtsȃr at-Tashawwuf fȋ Hayât al-Muslim was divided into two typologies of Sufism, namely true Sufism at-tashawwuf ash-shahîh and deviant Sufism at-tashawwuf al-mukhti`. Sufism according to him is the practice of shari’ah physically and mentally on the foundation of the Qur’an and as-Sunnah maximally and optimally. The practice of the Five Pillars of Islam and the Five Pillars of Faith are applied in the form of al-ihsân, which is called Sufism, and 2 The pattern of KH. Mochjar Dahri’s sufism in the Mursyid al-Ibȃd ilȃ Sabȋl ar-Rasyâd is akhlâqî/amalî. The pattern of KH. Mochjar Dahri’s sufism in the Ȃtsȃr at-Tashawwuf fȋ Hayât al-Muslim is a neo-sufism that emphasizes purity and activist characteristicsAsep SaepullahSetidaknya ada dua fungsi agama dalam kehidupan manusia, yakni sebagai norma dan sebagai ilmu. Tidak terkecuali Islam, yang memiliki tiga macam aspek syari’at, yakni iman, Islam, dan Ihsan. Iman dan Islam mudah untuk dijelaskan dan dipahami oleh sebagian besar umat Islam diseluruh dunia, karena berbicara mengenai tauhid serta ilmu-ilmu praktis. Seperti ilmu fiqh dan lainnya. Namun, dalam aspek ihsan yang berkaitan dengan tasawuf, masih sedikit umat Islam yang sadar akan pentingnya aspek ini. Tanpa aspek ini sulit kiranya umat Islam dapat memahami ajaran-ajaran Islam secara kaffah, karena dapat dikatakan bahwa aspek ini merupakan pusat dari agama Islam selain tauhid ataupun syari’ah. Persoalan lainnya muncul, ketika corak pemikiran abad ke-19 sampai 20 yang dikenal dengan aliran positivismenya, cenderung menolak ilmu-ilmu agama yang bersifat tidak bermakna. Dari corak pemikiran tersebut, lahirlah masyarakat modern. Tanpa melalui tauhid, syariah, dan ihsan sebagai intisari ajaran Islam, maka akan sulit bagi masyarakat modern untuk melakukan kebaikan, mencegah dari keburukan, dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Olehsebab itu, penulis berupaya menjelaskan bagaimana relevansi antara tasawuf sebagai intisari ajaran Islam dengan kehidupan masyarakat modern melalui pendekatan deskriptif-filosofis. Melalui pendekatan ini, penulis menyimpulkan bahwa tasawuf sebagai intisari ajaran Islam mampu memberikan dampak secara tidak langsung terhadap masyarakat Kunci Taswuf, Intisari, Ajaran, Islam, dan Sahin Zaimul AsroorIn this modern-contemporary era, Muslims are often faced with the question, "Is it necessary to follow the teachings of the tarekat? Didn't the tarekat especially after al-Ghazali criticized the philosophical tradition cause Muslims to decline and lose their critical power?" Moreover, some sufism teachings such as wahdatul wujud, wahdatus syuhud etc. Often considered as deviating from the pure teachings of Islam, especially by the Wahabi group. In order to answer some of these questions, the writer tries to present how Said Nursi responds in the interpretation of Risalah Nur. Nursi said that, "The present time is not the time of the tarekat." If it is not understood comprehensively, it will cause the reader to be inaccurate in concluding that generally Nursi rejects tarekat and some sufism teachings. That is why the writer wants to present which side of the teachings of tarekat and sufism that Nursi criticizes and what is his new offer. The research method that the author uses is library research with a socio-historical and descriptive-analysis approach using Risalah Nur as the primary source and several supporting books that are still related to the theme as a secondary source. The writer findsMoh Ashif FuadiMost of the people, especially nahdliyin residents, still follow the practice of manakib Sheikh Abdul Qadir al-Jailani. They do this to obtain the blessings of life. There are two most significant mainstream works in the reading of manakib, and the first is the book Nurul Burhani by Muslih Mranggen, and the second is the book of Jawahirul Ma’ani by Jauhari Umar Pasuruan. Each is read by many practitioners of manakib, which basically explains the biography of Abdul Qadir al-Jailani. This research is a comparative study of the historical two books by the method of library study. The results of this study are that books with each other have similarities and differences, even similarities in the content and editorial side. In a historical review, the authorship of the book influences by the experiences of different authors. Nurul Burhani’s book consists of eight parts, while the book of Jawahirul Ma’ani has ten features. Each has a lot in common in the teachings of Sufism that Always act on the truth, a figure is always connected with God at the time of dhikr and live the laws of God and be founded the teaching of Sufism like mujahadah, riyadhah, wara’, zuhud, khauf, qona’ah, sabar, syukur, E. MARMURA At the basis of Ghazali's criticisms of Ash'arite kalam is the thesis that its primary function is the defence of traditional Islamic belief, the 'aqida, against the distortions of heretical innovations al-bida'. Kalam is not an end in itself and it is error to think that the mere engagement in it constitutes the experientially religious. In the I[hdotu]ya' he maintains in effect that when it is pursued as an end in itself, its dogmas can constitute a veil preventive of the attainment of gnosis ma'rifa. On the other hand, Ash'arite kalam when not pursued as an end in itself can be an aid in the quest after gnosis. This is implicit in his reference in Kitab al-Arba'in to his own major work of Ash'arite kalam, the Iqti[sdotu]ad fi al-i'tiqad, where he states that “it goes deeper in ascertaining [the truth] and is closer to knocking at the doors of gnosis than the official discourse encountered in the books of the mutakallimin.” The I[hdotu]ya' abounds with homilies, guides for the pious, particularly for those seeking mystical knowledge. Ash'arism pervades such homilies. Thus in Kitab al-Tawba, Ghazali formulates, analyzes and defends the concept of human choice in Ash'arite terms. He thus argues that each of the ingredients of this concept - knowledge, power, the decisive will, as well as the ensuing choice - is individually the direct creation of God. Not that the argument for this concept yields experiential knowledge of its meaning within the cosmic scheme of things. For Ghazali such knowledge is only attained through mystical vision. But the Ash'arite argument, when not pursued as an end in itself, can be an aid to the seekers of gnosis. It can bring them closer to knocking at its Mumtaz Ali, dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga YogyakartaHazrat Mohammad Khadim Hasan ShahTasawufHazrat Mohammad Khadim Hasan Shah, "Tasawuf", trans. Syed Mumtaz Ali, dalam artikel yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Tasawuf smt. II, Konsentrasi Filsafat Islam, Fak. Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, 5 Feb dan al-Ahwal dalam TasawufKhairunnas RajabRajab, Khairunnas "al-Maqam dan al-Ahwal dalam Tasawuf", dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 25, 2007, h. at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam Kairo tpAbu AffifiAlAffifi, Abu al-"Ala, at-Tasawwuf ar Ruhiyyah fi al-Islam Kairo tp., 1962.Julian BaldickIslam MistikBaldick, Julian, Islam Mistik Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, Terj. Satrio Wahono Jakarta Serambi, 2002.John M EcholsHassan DanShadiliEchols, John M., dan Hassan Shadili, Kamus Inggris-Indonesia Jakarta Gramedia, cet. XXV, 2003.Yahya JayaSpiritualisasi IslamJaya, Yahya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental Jakarta Pustaka Ruhama, 1994.Jakarta Pustaka Firdaus, cetKhaldunIbnu. A MuqaddimahThohaKhaldun, Ibnu, Muqaddimah, terj. A. Thoha Jakarta Pustaka Firdaus, cet. II, 2000.Tasawuf MuzakkirDalam KehidupanKontemporerMuzakkir, Tasawuf dalam Kehidupan Kontemporer Perjalanan Neo-Sufisme, dalam Jurnal Usuluddin, Bil. 26, 2007, h. MadjidIslam Doktrin PeradabanMadjid, Nurcholish, Islam Doktrin Peradaban Sebuah Tela"ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderna Jakarta Paramadina, cet. Ke-4, 2000.
Tokohsufi lainnya yang hidup sejaman dengan Abu Hasyim al-Kufi adalah Ibrahim bin Adham (w. 165 H/782 M). Kisah pertobatan Ibrahim bin Adham sangatlah terkenal dan menjadi legenda sufi, dari seorang Pangeran Balkh menjadi seorang yang hidupnya sangat zuhud. Sebagaimana diceritakan oleh Abu Nuaim, Ibrahim bin Adham sangat menekankan pentingnya
Namalengkapnya Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, berasal dari Nahawand, tetapi lahir dan besar di Irak. Ia seorang ahli fiqih dan penganut madzhab "Abi Tsaur", salah seorang murid Imam Syafi'i. Pada saat berumur dua puluh tahun ia sudah dipercaya memberikan fatwa. Ia juga seorang ahli kalam yang masyhur.
Dibuatdi Bengal, India Timur sekitar tahun 1790-1800, pelukis tidak diketahui. (Foto/Ilustrasi : christies.com) KONON di negeri Irak memerintah seorang raja yang adil, Sultan Ibrahim bin Adham namanya. Dia memerintah dengan segala kasih sayang dan selalu memberikan karunia kepada hamba sahayanya yang berbuat jasa.
.
  • 67rmgafzo7.pages.dev/191
  • 67rmgafzo7.pages.dev/805
  • 67rmgafzo7.pages.dev/493
  • 67rmgafzo7.pages.dev/203
  • 67rmgafzo7.pages.dev/474
  • 67rmgafzo7.pages.dev/835
  • 67rmgafzo7.pages.dev/254
  • 67rmgafzo7.pages.dev/763
  • 67rmgafzo7.pages.dev/688
  • 67rmgafzo7.pages.dev/109
  • 67rmgafzo7.pages.dev/469
  • 67rmgafzo7.pages.dev/82
  • 67rmgafzo7.pages.dev/610
  • 67rmgafzo7.pages.dev/101
  • 67rmgafzo7.pages.dev/516
  • ibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari