Adapuntujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. 2. Menggali pengetahuan lebuh dalam tentang sejarah Indonesia khususnya mengenai Bela Negara. 3. Memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara terhadap Bela Negara.
Beberapa tantangan dan hambatan dalam membina kerukunan perlu diwaspadai dan ditanggulangi sedini mungkin. Hal ini dimaksudkan agar tidak berkembang menjadi masalah yang mengoyakkan persatuan dan kesatuan. Tantangan dan hambatan tersebut antara lain 1. Keterbatasan komunikasi antara pemerintah dengan rakyat di daerah pedalaman atau terpencil. 2. Keanekaragaman kepentingan dan budaya serta rasa kesukuan yang kadang muncul kepermukaan. 3. Kerawanan SARA dalam masyarakat negara kita yang kadang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. 4. Berbagai ketimpangan dan kesenjangan terutama sosial ekonomi dan pola hidup yang mewah. 5. Kemajuan IPTEK dan pola komunikasi terbuka yang dimanfaatkan untuk merusak moral, tata nilai budaya, serta jati diri bangsa Indonesia. Tantangan dan hambatan tersebut perlu segera di antisipasi jauh-jauh agar tidak menabur ancaman bagi kerukunan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan antara lain 10 1. Pengamalan nilai-nilai iman dan taqwa. 2. Perilaku yang sesuai dan sejalan dengan tata nilai dan norma. 3. Meningkatkan persahabatan dan komunikasi yang baik. 4. Menjalin solidaritas. Dengan demikian, harapan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang aman, tentram, rukun, dan damai dapat terwujud. N Kelebihan dan Kelemahan Pendidikan Pesantren. 1. Kelebihan-kelebihan pesantren tradisional antara lain: a. Kemampuan menciptakan sikap hidup universal yang merata, dengan dilandasi oleh tata nilai religiusitas tinggi yang terlepas dari acuan-acuan subkultural yang ada dalam susunan kehidupan diluar pesantren. b.

Jika kamu sedang mencari jawaban atas pertanya Apa Tantangan Dan Hambatan Pembinaan Kerukunan Dalam Masyarakat Indonesia, kamu berada di halaman yang tepat. Kami punya sekitar 10 tanya jawab mengenai Apa Tantangan Dan Hambatan Pembinaan Kerukunan Dalam Masyarakat Indonesia. Silakan baca lebih lanjut di bawah. Pertanyaan apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dan masyarakat Indonesia​ Jawaban tantangan pembinaan kerukunan masyarakat indonesia yaitu karna kurng komunikasi dan krng ny interaksi sosial sesama masyarakat Jawaban kurangnya rasa hormat menghormati serta bersikap tidak perduli terhadap lawan lingkungan masyarakat sekitar Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat? Di jawab Pertanyaan Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat? Di jawab ya. Penjelasan Tantangan dan hambantan bangsa Indonesia dalam membina kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut. masyarakat masih menganggap umat beragama lain sebagai penyakit’ masyarakat masih menganggap pihak merek yang paling benar dan lainnya salah penegakan hukum di Indonesia pejabat publik dan aparat keamanan yang belum sama terkait pentingnya membina kerukunan umat beragama semoga membantu Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia ​ Pertanyaan Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia ​ Jawaban ada yang tidak senang Penjelasan karena masyarakat ada yang masih belum tau arti kerukunan Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia?​ Pertanyaan Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia?​ kurangnya kesadaran sesama, dimana kerukunan merupakan kunci persatuan dalam suatu kenegaraan. apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat indoesia Pertanyaan apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat indoesia ✏️ Jawaban Tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia adalah kurangnya kesadaran sesama. ✏️ Penjelasan Kerukunan merupakan jalan hidup setiap manusia yang memiliki bagian-bagian dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong, toleransi, tidak saling bermusuhan dan saling menjaga satu sama lain. Tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia adalah kurangnya kesadaran sesama, dimana kerukunan merupakan kunci persatuan dalam suatu kenegaraan. Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia​ Pertanyaan Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia​ Jawaban 1. Keterbatasan komunikasi antara pemerintah dengan rakyat di daerah pedalaman atau terpencil. 2. Keanekaragaman kepentingan dan budaya serta rasa kesukuan yang kadang muncul kepermukaan. 3. Kerawanan SARA dalam masyarakat negara kita yang kadang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. 4. Berbagai ketimpangan dan kesenjangan terutama sosial ekonomi dan pola hidup yang mewah. 5. Kemajuan IPTEK dan pola komunikasi terbuka yang dimanfaatkan untuk merusak moral, tata nilai budaya, serta jati diri bangsa Indonesia. apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia?​ Pertanyaan apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia?​ keterbatasan komunikasi antara pemerintah dengan rakyat di daerah pedalaman atau terpencil 2. Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia?​ Pertanyaan 2. Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia?​ Jawaban salah mapel gan Penjelasan apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia​ Pertanyaan apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat Indonesia​ tantangan nya satu pihak susah mengalag hambatan susahnya membuat orang rukun Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dan masyarakat Indonesia Pertanyaan Apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dan masyarakat Indonesia hambatan seperti kurangnya kesadaran dalam pemikiran masyarakat indonesia maaf ya kalo salah' smg membantuuuuu Tidak cuma jawaban dari soal mengenai Apa Tantangan Dan Hambatan Pembinaan Kerukunan Dalam Masyarakat Indonesia, kamu juga bisa mendapatkan kunci jawaban atas pertanyaan seperti 2. Apa tantangan, Apa tantangan dan, Apa tantangan dan, Apa tantangan dan, and Apa tantangan dan.

Implementasiini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedakan suku, asal usul daerah, agama, atau kepercayaan,serta golongan berdasarkan status sosialnya. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Indonesia adalah sebuah negara dengan keragaman agama yang kaya dan unik. Selain Islam sebagai agama mayoritas, terdapat pula agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan kepercayaan lokal. Dalam sejarahnya, Indonesia dikenal sebagai negara yang toleran dan mempunyai kerukunan antarumat beragama yang baik. Namun, beberapa waktu belakangan ini, Indonesia mengalami beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Konflik antaragama, intoleransi, dan radikalisme semakin sering itu, perlu dilakukan upaya untuk membangun kembali kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini tentunya tidak mudah dan memerlukan kerjasama dari semua pihak. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi seperti ketidakadilan sosial, kurangnya toleransi, dan radikalisme agama. Untuk mengatasi tantangan tersebut, ada beberapa harapan dan langkah-langkah yang bisa diambil seperti pendidikan dan pembangunan kesadaran toleransi sejak dini, penegakan hukum yang adil, dan promosi dialog upaya membangun kerukunan umat beragama di Indonesia, peran pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan individu sangat penting. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap warga negara merasa aman dan dilindungi oleh hukum. Tokoh agama dan tokoh masyarakat dapat memainkan peran sebagai mediator dan mengedukasi umatnya tentang pentingnya toleransi. Sementara itu, individu dapat mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Membangun kerukunan umat beragama adalah sebuah proyek yang besar dan memerlukan waktu. Namun, dengan kerjasama semua pihak dan usaha yang sungguh-sungguh, kerukunan umat beragama di Indonesia dapat terwujud. Dalam situasi dunia yang semakin bergejolak, kerukunan umat beragama di Indonesia bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain tentang pentingnya menjaga perdamaian dan toleransi antarumat beragama. ReferensiBudimansyah, D. 2018. Toleransi Beragama dalam Perspektif Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 82, T. 2017. Merajut Kembali Toleransi Beragama Indonesia. Jurnal Kajian Bali Journal of Local Culture, 71, A. 2018. Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 222, 124-131. Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

PERANPEMUDA DALAM PEMBANGUNAN. Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang. Sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan

BORNEONEWS, Kuala Kurun – Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Gunung Mas Tasa Torang menyampaikan bahwa terdapat sejumlah tantangan dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama. “Tantangan yang pertama adalah pengaruh kondisi sosial ekonomi, politik, budaya, keagamaan masyarakat dan pengaruh kehidupan global,” ungkap Tasa kepada Minggu, 19 Mei 2019. Akibatnya, lanjut dia, sebagian masyarakat kehilangan pegangan dan norma hidup, berbangsa dan bernegara dalam masyarakat plural. Tantangan kedua adalah munculnya di tengah masyarakat praktek kekerasan dengan menonjolkan fanatisme kelompok, kesukuan, kedaerahan, politik dan keagamaan. Tantangan ketiga, masyarakat mudah terjebak terhadap kepentingan-kepentingan sesaat sehingga membuat fenomena kehidupan sosial umat diwarnai berbagai kasus kekerasan dan pertikaian. Oleh sebab itu, kata Tasa, pembangunan keagamaan harus ditingkatkan. Diantaranya dengan memantapkan fungsi, peran dan kedudukan agama. Lalu peningkatan kualitas pendidikan agama, pembangunan sarana dan prasarana yang merata dan memadai, serta pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama. MAGANG 1/B-5
Kesimpulanpenelitian ini adalah yang pertama dengan memahami nilai kearifan dan pen-tingnya menjaga kerukunan dalam bermasyarakat, orang Kristen dapat berkonribusi dalam mengaktualisasikan makna
ArticlePDF Available AbstractThe article briefly maps and analyzes a number of obstacles in creating interreligious harmony in Indonesia. It also offers potential solutions to be practically implemented. The writers observe that there are a number of problems which become obstacles to build interreligious harmony such as economic and political problems, dispute over territory, the difference of ideological doctrines, role of the mass media, provocative and unfair biased journalism, and the clash among religious missionaries of each religion when they encounter one with another in the field. In the last part of the article the writers provides an illustration on how interreligious harmony has been impressively implemented in Bali. The writers argue that interreligious life in Bali is a robust example for interreligious harmony. In addition, a number of experts consider the dynamic of interreligious life in Bali a remarkable model of how social harmony is well managed within a plural society. One may assume that Bali is an ideal miniature of interreligious harmony in Indonesia. Therefore, it should be imitated and implemented in other regions of our country. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 5, Nomor 1, Juni 2015; ISSN 2088-7957; 190-217 Mohamad Ali Hisyam Universitas Trunojoyo Madura, Indonesia E-mail hisyamhisyam Wan Zailan Kamaruddin Wan Ali Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala Lumpur Malaysia E-mail Abstract The article briefly maps and analyzes a number of obstacles in creating interreligious harmony in Indonesia. It also offers potential solutions to be practically implemented. The writers observe that there are a number of problems which become obstacles to build interreligious harmony such as economic and political problems, dispute over territory, the difference of ideological doctrines, role of the mass media, provocative and unfair biased journalism, and the clash among religious missionaries of each religion when they encounter one with another in the field. In the last part of the article the writers provides an illustration on how interreligious harmony has been impressively implemented in Bali. The writers argue that interreligious life in Bali is a robust example for interreligious harmony. In addition, a number of experts consider the dynamic of interreligious life in Bali a remarkable model of how social harmony is well managed within a plural society. One may assume that Bali is an ideal miniature of interreligious harmony in Indonesia. Therefore, it should be imitated and implemented in other regions of our country. Keywords Obstacles; interreligious harmony. Pendahuluan Agama diturunkan Tuhan untuk menjadi paradigma utama kehidupan manusia. Dalam banyak aspek, agama kemudian menjadi tolok ukur bagi lurus tidaknya tingkah laku manusia menurut kacamata Tuhan. Hanya manusia makhluk Tuhan yang dikaruniai akal sehingga mereka dibebani keniscayaan untuk mengatur diri serta mengelola alam Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 semesta agar kehidupan di dunia menjadi seimbang dan penuh kedamaian. Dari sini jelas bahwa setiap agama itu membawa pesan kedamaian. Semua agama tentu ingin menebar rasa damai dan keselamatan bagi penganutnya dan bahkan kepada siapa saja. Sebagai contoh, agama kaum Muslim disebut Islâm karena ia membawa misi salâm dan salâmah keselamatan ke tengah-tengah kehidupan manusia. Sikap pasrah atau berdamai merupakan inti sejati dari Islam. Dengan lahirnya Islam semuanya akan merasa selamat, tidak hanya pemeluknya sendiri, melainkan menebar ke semua bisa disangkal bahwa dalam perjalanannya, agama bukan hanya sebagai sebuah simbol identitas ataupun ritual belaka, akan tetapi telah menjelma kebutuhan asasi tiap manusia. Agama telah menjelma the problem of ultimate concern. Ia adalah solusi bagi masalah yang menyangkut kepentingan mutlak setiap individu. Oleh karenanya dalam konteks ini, Paul Tillich pernah mengemukakan bahwa setiap pemeluk agama senantiasa dalam keadaan terlibat involved dalam agama anutannya. Sehingga bisa dikatakan “aneh” jika setelah berikrar dan mengikat diri dengan Tuhan, manusia lantas merasa bebas menjalankan pesan agama dengan sekehendak hatinya. Termasuk merasa leluasa untuk melanggar aturan-aturan di dalamnya. Begitupun sebuah “kejanggalan” pula apabila kemudian manusia lupa dan mengabaikan misi esensial agama. Ketika manusia menyebut dirinya beragama, pantaskah ia menentang kedamaian yang diajarkan agamanya? Layakkah ia mempraktikkan kekerasan dalam segala motifnya justru dengan “label” kebenaran? Pertanyaan yang paling krusial, layakkah seseorang yang mengaku agamis menebar konflik demi konflik, hingga mengatasnamakan agama dan Tuhan mereka? Dari sini, patut ditelusuri apa sebenarnya yang menyebabkan manusia harus saling menikam demi dan atas nama agama. Baik dalam lingkup intern maupun antaragama. Agama yang semestinya berfungsi sebagai moral force untuk berbuat baik, malah dibuat senjata dan tameng untuk membenarkan sikap ataupun tindakan-tindakan keliru dan anarkhis. Agama semestinya berperan sebagai kontrol yang menyuruh berbuat bajik serta mencegah berlaku jahat amr marûf nahy munkar. Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan Jakarta Paramadina, 1966, 166. Mohammad Daud Ali, Agama Islam Jakarta Koordinatoriat MKDU UI, 1992, 11. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan Memang muatan agama tak dapat berperan secara langsung dalam menampakkan nilai-nilai luhurnya. Ia harus melalui perantara, yakni manusia, lingkungan, dan pergaulan sosial kebudayaan. Menurut Kuntowijoyo, agama bisa berperan langsung manakala ia dilibatkan melalui proses objektivikasi. Ia bisa akan leluasa berpengaruh ketika ia dipraktikkan dalam struktur keseharian, baik itu berupa proses hidup beragama ataupun bernegara. Dengan kekuatan luhurnya, ia pun mampu menjadi sendi bagi proses demokratisasi. Di sinilah faktor manusia secara mencolok akan menampakkan perannya. Hingga hari ini di saat peradaban modern melesat dengan beragam kemajuan yang dicapainya, masyarakat rasional masih senantiasa dibayangi pertayaan seputar eksistensi agama. Sodoran-sodoran konflik dan tragedi kemanusiaan yang banyak melibatkan unsur SARA terutama agama, kembali membongkar wacana seputar kerukunan agama dan pluralitas sosial. Berbagai kasus mutakhir semisal peristiwa Ambon, Gujarat, Israel-Palestina, Suriah, hingga tragedi Rohingya di Myanmar, merupakan cermin faktual dari akumulasi pertanyaan di atas. Betapa masyarakat dunia yang dengan gemuruh mengklaim diri mereka sebagai masyarakat agamis religion society seakan kehilangan muka di depan cermin dan bayangannya sendiri. Agama-agama yang mereka anut untuk bisa mengayomi hidupnya justru acapkali dijadikan “amunisi” untuk berperang. Nama Tuhan pun ramai-ramai digotong untuk menjustifikasi membenarkannya. Wajar jika kemudian banyak manusia modern berpaling dan mencari spiritualisme baru di luar agama. Jutaan nyawa dan harta yang dikorbankan dalam tragedi “atas nama” agama ini dari masa ke masa, serasa belum cukup untuk menghentikan pertikaian-pertikaian yang pada akhirnya menggugat kembali nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan dari manusia yang menganggap diri sebagai makhluk beragama. Pada kerangka itulah, tulisan ini mencoba memetakan beberapa anasir dan faktor di balik sengkarut problematika relasi lintas agama, khususnya di Indonesia. Terdapat sejumlah motif dan background yang layak disodorkan sebagai sekian di antara banyak penyebab yang potensial menyulut fenomena konfliktual semacam ini. Kuntowijoyo, “Kaidah-kaidah Demokrasi”, Majalah Ummat, 14-10-96, 44. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 Konflik Antaragama dan Pembebasan Wilayah Salah satu penyebab konflik lintas agama adalah adanya klaim-klaim terhadap wilayah geografis. Tak jarang masalah tanah mengakibatkan di antara komunitas beragama terjadi clash. Masing-masing merasa berhak memiliki wilayah tertentu untuk dianggap sebagai kekuasaan mereka. Fanatisme beragama seringkali dijadikan bahan bakar untuk bertempur hanya demi beberapa jengkal tanah. Sungguhpun itu hanyalah sebuah petak kecil tanah, ketika ia sudah dianggap bersejarah monumental, ia pun akan diagungkan dan kemudian diupayakan direbut dengan beragam cara. Konflik Palestina adalah contohnya. Secuil wilayah yang bernama Yerussalem menjadi lahan rebutan dari tiga komunitas beragama sekaligus, yakni Islam, Yahudi, dan Kristen. Ketiganya menganggap Yerussalem sebagai tempat bersejarah bagi agama mereka. Bagi kaum Muslimin, di situlah kiblat pertama mereka masjid al-Aqsha ditetapkan, sebelum akhirnya pindah ke Makkah. Di sana pula terdapat qubbat al-sakhrâ’, tapak tilas tempat Nabi singgah dalam peristiwa Isra Mi’raj. Bangsa Yahudi mempunyai tabernakel semacam aula serta Haykal dan tembok bersejarah yang mereka sebut dengan whaling wall atau tembok ratap. Sedangkan umat Kristiani merasa di situlah terletak gereja Holy Sepulchure, dan mereka berkeyakinan di situ jugalah Isa Yesus rebutan ini selanjutnya dalam lensa sejarah disebut-sebut sebagai arkeologi religius dari pengembaraan spiritual kenabian Ibrahim sampai keturunan-keturunannya. Lahirlah kemudian Abrahamic Religion yang menjadi topik masyhur setelah diulas oleh Karen Amstrong melalui banyak karya-karyanya. Th. Sumartana beranggapan bahwa ketiga agama serumpun semiotik ini menjadi besar dan survive hingga kini, karena ditopang oleh kekuatan tradisi dan peradaban sosial yang maju. Pada awalnya, lingkup geografis dari peradaban agama-agama turunan Ibrahim ini beredar dan berkutat dengan kuat di sekitar wilayah Timur Tengah sehingga menambah “panas” eskalasi dan gesekan klaim di antara satu dan yang lainnya. Wilayah, tanah dan Lihat Nurcholish Madjid, Perjalanan Religius Umroh dan Haji Jakarta Paramadina, 1997, 39-61. Th. Sumartana, dkk, Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Protestan Yogyakarta Dian dan Interfidei, 2002, 125. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan sejarah menjadi tema substansial dalam riwayat perselisihan di antara Islam, Kristen dan Yahudi. Nuansa Politik dalam Hubungan Antaragama Agama erat berkelindan dengan politik. Politik adalah seutas benang yang berperan menghubungkan antara agama dan negara. Dari sinilah acapkali terjadi silang sengkarut antar pelbagai kepentingan. Agama sering dimanipulasi demi kepentingan politik. Begitu pula sebaliknya. Pertanyaannya, bisakah keduanya berhubungan secara sinergis tanpa harus saling menafikan satu dengan lainnya? Di lingkungan internal agama sendiri, masalah politik ini kerap dijadikan senjata untuk saling menjatuhkan. Bahkan dengan tanpa sungkan, ada pihak tertentu yang “tega” memanipulasi teks-teks keagamaan hanya semata untuk kepentingan kelompok yang bersifat sesaat. Dengan cukup cermat, melalui bukunya Mutasyabih al-Qur’an Dalih Rasionalitas al-Qur’an, Machasin memberikan gambaran bagaimana konflik antarkelompok Islam di abad pertengahan berlangsung sengit, cukup hanya dengan sumbu picu mempertentangkan antara ayat muh}kamât tegas dengan ayat mutashâbihât ambigu dalam al-Qur’ jarang di antara pihak yang bertikai harus mengakhirinya dengan cara saling bunuh hanya karena saling berebut pengaruh serta merasa pendapat diri dan kelompoknyalah yang paling benar. Akan halnya pertentangan antaragama dalam belantika politik, antara lain dilatarbelakangi oleh ketidakdewasaan para politisi dalam mengemban pesan luhur agama ke meja politik. Betapapun agama tak harus sepenuhnya terpisah dari politik, namun mengusung “simbol-simbol” agama dengan cara yang keliru ke dalam kancah politik, hanya akan menjadi bumerang dan manuver yang kontraproduktif terhadap agama itu sendiri. Sebaliknya, praktik-praktik politik yang simpatik dan selaras dengan nilai-nilai moral akan menyandingkan politik dan agama dalam posisi yang luhur dan semestinya. Al-mulk bi al-dîn yabnâ, wa al-dîn bi al-mulk yabqâ. Kekuasaan yang berlandaskan nilai-nilai agama akan terbina dan agama yang ditopang kekuasaan akan lestari. Tentu saja yang dimaksud dengan “perkawinan” agama dan kekuasaan bukanlah selalu bermakna bahwa sebuah negara haruslah Bandingkan Machasin, Mutasyabih al-Qur’an Dalih Rasionalitas al-Qur’an al-Qadli Abdul Jabbar Yogyakarta LKiS, 2000. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 menjadi negara agama secara formal. Sebaliknya, negara atau pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip luhur agama, ia akan berpotensi memajukan dan menjalankan kekuasaan dengan baik dan lurus. Alexis De Tocquiville dalam Democracy in America menegaskan bahwa agama akan bisa berperan sentral dan berfungsi efektif justru apabila ia bergerak dari luar negara, yakni dari kawasan masyarakat bawah atau civil pola kultural semacam ini, agama dinilai lebih berpeluang untuk menjadi kekuatan penyeimbang balance of power daripada larut dalam kekuasaan power itu sendiri. Di antara bukti dari kekurangdewasaan penerapan agama dalam politik adalah munculnya gagasan untuk mendirikan negara agama. Agama dianggap akan mampu menjadi jiwa dan paradigma kebangsaan, apabila diwujudkan dalam bentuk negara formal. Meskipun ada sebagian yang sepakat, tidak sedikit kalangan yang jengah dengan guliran gagasan semacam ini yang dinilainya tidak akan efektif serta merupakan mainstream yang salah arah. Formalisasi agama ke dalam kekuasaan dipandang hanya akan menjauhkan “spirit” keagamaan dan keberagamaan yang murni dan penuh harmoni di tengah masyarakat. Agama menjadi terkurung secara eksklusif dalam jeruji formalisme yang cenderung simbolik dan berpotensi melahirkan “kekerasan” atas nama agama. Terutama dalam hal kontestasi antara agama mayoritas dan minoritas. Salah seorang penentang ide formalisasi ini adalah Azyumardi Azra. Menurut Azra, keinginan mendirikan negara agama terjadi karena adanya segelintir orang yang begitu terpesona pada klaim negara semacam kenangan dan nostalgia sejarah yang ingin selalu diulang tanpa mempertimbangkan pentingnya aspek konteks, berupa latar ruang dan waktu di mana sebuah agama tersebut tumbuh dan berkembang. Seolah-olah dengan pola ini, permasalahan kebangsaan dan kenegaraan akan langsung selesai dengan serta-merta instant solution. Abdul Munir Mulkhan bahkan mencurigai bahwa rumusan serupa itu hanyalah sebagai gejolak reaktif dari kekalahan politik dunia Islam. Ini bersumber dari asumsi bahwa hukum-hukum agama akan Robert W. Hefner, Islam Pasar Keadilan Yogyakarta LKiS, 2001, 41. Azyumardi Azra, Islam Substantif Bandung Mizan, 2000, 195-196. Wawancara, Majalah Santri, Edisi 11/1997, 9-12. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan dapat ditegakkan hanya dengan menegakkan konstitusi negara yang berlandaskan kepada pilar-pilar agama. Karena itu hasrat seperti ini mestilah dijawab dengan pemahaman substansial dan bukan hanya jalan keluar yang simbolik formal. Namun demikian, penolakan atas gagasan negara agama tak selamnya berarti pemisahan di antara keduanya. Menyelesaikan masalah ini dengan cara sekularisasi ketat khas negara-negara Barat juga tak otomatis akan menjamin menuai hasil. Tawaran sekularisasi ala Barat dalam beberapa hal akan berhadapan melawan kekuatan-kekuatan lokal yang memang dari awal cenderung kental dengan muatan-muatan religius. Anggapan bahwa masyarakat Indonesia merupakan pewaris tradisi religius, di satu sisi memang bukan isapan jempol belaka. Bukti empiris dan jejak historis terang benderang terpampang dalam sejarah panjang kehidupan beragama di nusantara. Fenomena aktual kemasyarakatan masih menyiratkan nuansa kuat keagamaan di banyak tempat di sekujur negeri ini. Kendati saat ini, anggapan masyarakat agamis tersebut mulai dipertanyakan seiring marak dan berlarutnya konflik-konflik sosial dan agama yang terus mendera bangsa ini. Bagaimanapun juga kondisi ini merupakan simbol dan karakter khas dari kepribadian bangsa yang layak kita banggakan. Local genius semacam ini perlu kita jaga dan lestarikan agar proses akulturasi budaya dan agama yang terjadi bisa dikendalikan. Di Indonesia, proses semacam ini bisa dengan mencolok dapat diamati terutama ketika pasukan kolonial Belanda membawa budaya indis masuk ke wilayah nusantara. Menariknya, tercampurnya budaya asing dan lokal juga atas peran besar para cendekiawan dan rohaniawan termasuk ulama. Inilah Di samping mengurai detail seputar wacana perang suci jihad umat Islam versus Perang Adil ala Barat, James Turner Johnson cukup banyak menawarkan pola pemisahan antara masalah kenegaraan dari kewenangan intervensi agama seperti yang telah berlangsung di Barat. Lihat lebih lengkap James Turner Johnson, Perang Suci atas Nama Tuhan dalam Tradisi Barat dan Islam Bandung Pustaka Hidayah, 2002. Istilah local genius dipopulerkan sejak awal oleh Quaritch Wales setelah ia melakukan penelitian serius tentang perubahan sosial yang terjadi di Asia Tenggara pasca masuknya budaya asing Barat. Lihat Quaritch Wales, “The Making of Greater Indis A Study of South East Asia Culture Change”, Journal of the Royal Asiatic Society Cambridge Cambridge University Press, 1948, 49. Joko Soekiman, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Yogyakarta Penerbit Bentang, 2000, 43. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 yang disebut oleh Bambang Pranowo turut punya andil membaur sekaligus merobohkan pembatas sosial social barrier masyarakat hingga membentuk karakter agamis dan religius seperti saat ini. Ada perjumpaan sinergis antara budaya luar yang agamis dengan khazanah lokal yang luhur dan religius. Kedua nilai murni ini kemudian tumbuh saling mengisi hingga menjadi corak utama dari karakter masyarakat pribumi. Mengacu pada perspektif ini, tidak selayaknyalah apabila fatsoen politik kemudian menjadikan hubungan internal maupun antaragama menjadi renggang dan retak. Paradigma politik yang mengesahkan aturan “tiada kawan maupun lawan yang abadi” sejatinya bisa dikontrol dengan pemahaman keagamaan yang baik sehingga tak harus bergumul dan bergulir ke arah yang negatif. Justru melalui penanaman visi keagamaan secara lurus dalam diri politisi, akan lahir sebuah prilaku politik yang bersih dan luhur clean politics. Dan pada akhirnya, kehidupan agama dan politik bisa berlangsung inklusif, adil, toleran, dan saling topang. Hal ini mampu terwujud, antara lain apabila didukung kiprah para agamawan dengan jalan tidak “latah” untuk turun langsung secara pragmatis ke gelanggang politik serta senantiasa berupaya menjaga jarak yang ideal dengan dunia politik praktis. Lantas apakah religiositas ada kaitannya dengan politik? tak mudah untuk secara langsung menjawabnya. Politik menarik digeluti karena ia menawarkan daya pukau berupa pesona kekuasaan yang glamour. Dan ketika seseorang berada dekat ataupun dalam lingkaran kekuasaan, ia akan ditawari oleh beragam kecenderungan baca kemungkinan. Antara lain oleh keinginan dan nafsu menghalalkan segala cara. Zuly Qodir mengibaratkan bahwa setiap kali membincang agama, kekuasaan senantiasa mengintai, mengikuti, dan bahkan terang-terangan menghadang. Mulai dari depan, sisi samping bahkan dari arah belakang. Di sinilah peran politik akan diuji untuk sedapat mungkin mengambil tempat yang strategis di tengah jepitan kebutuhan hidup serta jebakan kepentingan agama dan negara. Wawancara, Jawa Pos, Edisi 09-06-2002, 4. Zuly Qodir, Agama dalam Bayang-bayang Kekuasaan Yogyakarta Dian dan Interfidei, 2001, v. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan Harmoni Antaragama dan Faktor Ekonomi Ada sebuah diktum keagamaan yang pernah dipopulerkan oleh Alî b. Abî T}âlib, khalifah Islam yang ketiga, yaitu ujaran kâd al-faqr an yakûnâ kufran kemiskinan seringkali membawa ke arah kekafiran. Artinya, faktor ekonomi kemiskinan kerap kali terbukti bisa melunturkan keyakinan serta ideologi seseorang. Ekonomi pula yang kadang dapat membuat seseorang kalap dan tak bisa menguasai diri. Pertahanan dan kekuatan iman kadangkala mudah dijebol jika perut dalam kedaan kosong. Dalam keadaan seperti ini semua menjadi mudah dipengaruhi. Cukup beralasan apabila kemudian entitas agama tertentu saling mencurigai entitas yang lain yang dianggapnya menjalankan misi agamanya lewat jalur ekonomi. Mereka dianggap memanfaatkan kondisi keterpurukan masyarakat untuk menyebarkan ajarannya. Di lain pihak, tertuduh membela diri dengan alasan bahwa tak ada salahnya mengentaskan kemiskinan ekonomi, kerena itu merupakan bagian tugas suci dari agama yang dianutnya. Perang prasangka semacam ini cukup beralasan karena pada level praktis memang ditemukan realitas penyebaran agama di tengah masyarakat dengan menggunakan jalur ekonomi, terutama di kawasan pedesaan yang akrab dengan kemiskinan. Hingga di sini, permasalahan menjadi berkembang dilematis. Dalam bentuknya yang lain, perebutan lahan ekonomi pun memiliki potensi ke arah benturan yang sering kali mereka legalkan dengan dalih alasan agama. Mengambil contoh kasus Ambon, Azyumardi Azra beranggapan bahwa apa yang sebenarnya terjadi di Maluku bukanlah murni konflik antaragama. Ada sejumlah faktor dan anasir lain yang saling berkelindan dalam memanaskan bara konflik di sana, baik secara samar maupun terang-terangan. Azra menilai telah terjadi apa yang disebut dengan contest for space perebutan ruang dalam banyak aspek, termasuk di dalamnya di bidang ekonomi. Perselisihan di sana sesungguhnya lebih disebabkan oleh adanya hegemoni kemapanan yang seiring berjalannya waktu merasa terusik dan terganggu. Ada komunitas tertentu yang sekian lama mampu bertahan dengan stabil dan berada pada zona kenyamanan comfort zone yang merasa “terancam”. Oleh karena itu, guna Azra, Islam, 147. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 menanggulangi konflik seperti di Ambon dibutuhkan seperangkat kemampuan guna menyesuaikan diri dengan perubahan sosial yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat. Tentu saja dengan ditopang oleh kesamaan perspektif dan kesatuan persaudaraan yang harus dipelihara semua pihak dengan cara damai. Jejak Historis dan Miskonsepsi Sejarah menuturkan bahwa konflik-konflik yang melibatkan kelompok lintas agama bukanlah hal baru dalam lanskap peradaban manusia. Ia sudah terjadi bahkan semenjak era Nabi Adam manusia pertama yang ditandai dengan perselisihan antara Qabil dan Habil dua anak Adam yang bertikai karena dibakar rasa dengki manusiawi. Pertengkaran ini kemudian diabadikan menjadi titik awal sejarah pertikaian manusia, sekalipun dalam lingkup satu agama, bahkan sesama saudara dan satu keluarga. Sedangkan perseteruan antaragama barangkali bisa dirunut mulai dari zaman-zaman kenabian setelah Adam. Bagaimana para Nabi yang membawa misi agama Ilahi harus selalu berhadapan dengan kekuatan domestik masyarakat setempat lokal yang tak selamanya bisa menerima risalah mereka. Ini bisa dibaca dari sejarah-sejarah kenabian Nabi Ishaq, Ibrahim, Musa, Isa hingga zaman Muhammad sekarang ini. Sebagai contoh, untuk kisah kasus pembebasan kota tua Yerussalem saja, menurut Nurcholish Madjid terjadi dengan memakan waktu yang begitu lama dan fluktuatif. Pasang surut tersebut diawali dari penemuan Ibrahim akan wilayah subur bernama dâr al-salâm Yerussalem yang bermakna “rumah kedamaian” hingga merentang sampai masa Nabi-Nabi sesudahnya. Bahkan bisa disebut perebutan dan klaim terhadap Yerussalem tetap bergejolak sampai era khalifah Umar b. Khat}t}âb yang secara adil berupaya mendamaikan ketiga agama Islam, Yahudi, dan Kristen untuk tetap hidup rukun di tanah Bani Israel tersebut. Hingga kini pun, pertikaian di sana masih menyisakan bara panas permusuhan yang belum sepenuhnya mampu dipadamkan. Pada kerangka yang lain, persengketaan antaragama juga dimunculkan oleh adanya miskonsepsi atau perbedaan konsep. Masing-masing agama merasa memiliki konsep sendiri dan merasa tak masalah Madjid, Perjalanan Religius, 48. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan jika itu harus bertentangan dengan agama yang lain. Miskonsepsi terjadi setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor yang kesemuanya bertali-temali antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama, adanya sikap saling klaim. Ketika tiap-tiap agama merasa paling berhak menafsirkan kebenaran dan merasa paling benar, saat itulah muncul klaim kebenaran claim of truth, klaim keselamatan claim of salvation serta beragam pengakuan-pengakuan bernada fanatik lainnya. Hal ini sebenarnya dapat diterima sepanjang disertai penghargaan yang layak dan setimpal terhadap aneka perbedaan yang terjadi. Apabila penghargaan tersebut diberikan, niscaya ada semacam kesadaran teologis yang apresiatif dan saling menghormati dalam konteks kehidupan timbulnya kesadaran misi. Setiap agama tentu mempunyai misi sendiri-sendiri dan boleh jadi berbeda satu sama lain. Orang Islam misalnya, mengajarkan bahwa setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan perintah berdakwah amr marûf nahy munkar. Demikian pula agama yang lain walaupun dalam motif serta modus yang berbeda. Sekadar contoh, proyek misi Kristenisasi yang sering dicurigai, ternyata memang benar-benar wujud keberadaannya. Hal ini diakui sendiri oleh pihak Kristiani. Pendeta Martin Sinaga, salah seorang tokoh agama Kristen, mengungkapkan bahwa Kristenisasi missionari memang bagian dari formulasi kaum Nasrani yang bertujuan untuk mengajak berdialog tanpa pretensi mengristenkan seseorang. Kendati kemudian ada orang yang tertarik dan berminat mengkonversi agamanya ke dalam Kristen, hal itu semata dimaknai sebagai “efek positif” dari kegiatan dialog tersebut. Ketiga, melekatnya sikap purbasangka. Kedua faktor di atas yakni missionari dan saling klaim, telah melahirkan kecurigaan-kecurigaan yang berbentuk purbasangka. Pada sebagian agama, pandangan prejudice atau mencurigai secara negatif pihak lain sebenarnya adalah cermin dari ketidakdewasaan pemeluk agama dalam merespons pluralitas dan keberagaman sosial. Sikap ini jika terus dibiarkan, akan berbahaya dan KH. Wahid Zaini, dkk, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi Yogyakarta LKiS, 1996, 198. Ibid., 199. Pdt Martin Sinaga, “Kristenisasi Sungguh-Sungguh Terjadi”, Wawancara, Jawa Pos, Edisi 26-05-2002, 4. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 menjadi preseden buruk bagi masa depan kehidupan lintas agama di Indonesia dan di manapun juga. Sepanjang agama-agama mentolelir adanya pelbagai penafsiran-penafsiran baru multi-tafsir, maka sikap saling terbuka inklusif ini akan menimbulkan suasana perbedaan yang indah dirasakan. Menuduh pemahaman akan pluralisme beragama sebagai tindakan menyebarkan keraguan tashkîk, terasa sebagai pandangan yang sepihak dan masih perlu penelusuran ilmiah yang lebih baru dan kontekstual untuk melarangnya sama sekali. Apalagi hingga menuding itu sebagai bagian dari paham wah}dat al-adyân penyatuan agama-agama rintisan tokoh sufi tersohor Ibn Arabî yang terbukti menuai banyak kecaman. Dalam batas-batas tertentu, menghargai kemajemukan beragama tanpa harus larut ke dalam agama tertentu adalah juga implementasi dari sikap tasâmuh} toleran dan al-musâwah egaliterianisme yang sangat dianjurkan oleh setiap agama. Antusiasme Massa dan Peran Media Memanasnya perselisihan antaragama juga tak bisa dilepaskan dari peran aktif media pers. Dalam beragam bentuknya cetak maupun elektronik media acapkali digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerang dan mendiskreditkan pihak-pihak lain yang berseberangan pandangan. Pada konteks paling minimal, media juga tak jarang dimanfaatkan secara provokatif sebagai sarana meledakkan antusiasme umat beragama terhadap absolusitas kebenaran agamanya sendiri. Lalu lahirlah fanatisme sempit dengan jalan menerima kebenaran dari luar mereka dengan logika permusuhan. Pers memang ditakuti dalam beberapa aspek. Keluasan daya jangkau yang dimilikinya serta dukungan power provokatifnya, sering membuat takut pihak-pihak yang merasa memendam suatu kesalahan ataupun hal-hal yang bersifat rahasia. Terutama jika sesuatu hal tersebut akhirnya dikhawatirkan menuai gugatan dan ancaman apabila kelak dibuka serta dipublikasikan. Seorang Napoleon Bonaparte panglima perang dan kaisar kerajaan Perancis pada abad 17-18 Masehi tak bisa menyembunyikan ketakutannya terhadap kekuatan serangan media. Napoleon mengaku lebih takut menghadapi sebuah penerbitan Hartono Ahmad Jaiz, “Kewajiban Menerapkan Syariat Islam, Membincang Kontroversi Islam Liberal”, Media Dakwah Juni 2002, 38. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan pers/media yang terbit di negaranya, daripada harus melayani seribu bala tentara musuh yang siap dengan senjata terhunus. Begitulah dahsyatnya daya serang media. Ia bisa menyanjung dan melambungkan siapa saja yang dikehendakinya, sekaligus mampu menjerumuskannya kapan saja ia suka. Kemerdekaan dan kedaulatan sebuah bangsa pun melibatkan perjuangan pers secara massif dan intensif sebagai sarana psy war dan agitasi. Rakyat Indonesia patriotismenya luar biasa menggelora, selain disebabkan oleh sikap angkuh penjajah kolonial, juga lantaran turut diprovokasi oleh “suara beracun” pers Belanda. Peran penting pers inilah yang selanjutnya membuat hukum tata negara memasukkannya dalam the fourth estate empat pilar demokrasi bersama lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Jurnalis senior Rosihan Anwar masih yakin bahwa di masa-masa mendatang, pers dan media tetap akan mendapat peranan yang amat penting. Kendatipun masih perlu dibenahi, media ke depan masih merupakan salah satu tiang utama reformasi peradaban kerangka hubungan antaragama, media tak bisa dinafikan memiliki fungsi vital yang cukup berpengaruh. Media ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia sanggup melempangkan jalan kerjasama damai lintas agama. Namun demikian di sisi yang lain, media pun mampu pula meluluhlantakkannya dengan serta-merta. Hal ini amat bergantung kepada siapa dan faktor kepentingan apa yang ada serta “bermain” di balik pengelolaan media tersebut. Efektivitasnya dalam membentuk opini publik membuat media dijadikan alternatif sebagai sarana aktualisasi, publikasi maupun juga provokasi. Ketika ada pihak yang diserang melalui media, maka ia pun akan berpikir dan memiliki potensi guna membalasnya dengan cara yang sama pula. Paling tidak untuk menjadi benteng dalam membela diri self defense. Sekadar contoh, isu fundamentalisme Islam yang digencarkan media-media di Barat, disambut dengan ulasan-ulasan bernada serangan balik counter attack oleh media-media di Timur Tengah serta negara-negara Islam lainnya. Isu yang bersifat generalisasi Lihat Je Dae Sik, Gerakan-gerakan Keagamaan di Korea dan Indonesia di Awal Abad 20 Studi Historis Yogyakarta Dua Dimensi, 1985, 44. Kompas, 09-02-2002, 3. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 tersebut dipahami baca diterima bukanlah sebagai uraian ilmiah melainkan lebih sebagai gangguan atau ajakan untuk dengan stereotyping ini, tak semua kalangan di Barat sepakat. Dalam bukunya The Battle for God, Karen Armstrong mengutarakan bahwa fundamentalisme adalah cara baru untuk lebih menghayati agama, tatkala proses modernisasi nyaris memusnahkan nilai-nilai keagamaan dan seruan guna kembali kepada fondasi asas agama secara fanatik dan militan akhirnya menjadi solusi bagi melawan keringnya jiwa-jiwa kemanusiaan orang-orang modern yang kian waktu semakin terhimpit oleh kehidupan yang serba hedonis dan materialistik. Bagi sebagian kalangan, cukup mudah membaca gejala bagaimana pers menggiring opini massa menuju arah yang diinginkannya. Karena ada banyak ragam “tangan” kepentingan di balik penerbitannya, tentu warna medianya akan beragam pula. Di Indonesia sendiri, orang akan gampang menebak aliran-aliran media massa ditilik dari muatan tendensius dari “idealisme” yang dijajakan di dalamnya. Mulai kalangan yang dicap fundamentalis, pluralis, tradisionalis, modernis, teroris bahkan sampai aliran yang dianggap sesat pun banyak memilih media sebagai sarana aktualisasi mereka sekaligus wahana sosialisasi gagasan-gagasannya ke hadapan khalayak. Tanpa media, sebuah komunitas pasti akan kesulitan dalam memperkenalkan diri, mengelola dan merekrut anggota dan juga mempengaruhi khalayak di luar mereka. Belum lagi kalangan agama lain semisal Kristiani, Hindu, Buddha serta Konghucu. Sebagian besar dari mereka memiliki media guna menguatkan identitas. Sekalipun dalam jumlah tiras dan lingkup yang amat terbatas dan minimal. Yahudi pun disebut-sebut sebagai pemegang IBM Company dan Intel, dua buah perusahaan raksasa dunia yang bergerak aktif di jalur industri informasi dan komunikasi modern. Hingga di titik ini, media juga bisa menjalankan fungsi-fungsi solutif bagi hubungan lintas agama dengan jalan tidak selalu memuat tulisan-tulisan bernada provokasi serta opini-opini kontroversial yang cenderung menyesatkan. Di saat media rajin menyuarakan “ayat-ayat Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam Jakarta Paramadina, 1997, 143. Jawa Pos, 19-05-2002, 04. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan pedang”, saat itu pula ia harus mengimbanginya dengan juga menurunkan “ayat-ayat rahmat”. Bahwa betapa perbedaan itu ada, sekecil apapun peluang untuk damai bersama senantiasa tetap harus diikhtiarkan secara terbuka. Malah tidak menutup kemungkinan jika masing-masing agama bersedia guna saling tukar media. Hal ini penting bukan hanya sebagai cara mengikat persaudaraan berikut tawar menawar dalam ruang keterbukaan, melainkan juga bisa berguna sebagai upaya saling menggali dan tukar menukar gagasan dalam bentuk yang rukun dan konstruktif. Cara ini yang barangkali banyak disinggung Goenawan Mohammad sebagai free market ideas pasar bebas gagasan. Dalam rangka membangun bangunan kehidupan antaragama yang harmonis dan berkeadaban di masa mendatang, seyogyanya peran kondusif media ini bisa dijadikan sebagai ajang untuk semakin menjalin pergaulan, memupuk wacana kesatuan serta memelihara keseimbangan hidup beragama yang adil dengan jalan mengembangkan sisi-sisi positif dari setiap edisi penerbitannya. Bukan malah sebaliknya menjadikan media sebagai wahana pemecah belah antarkelompok yang cenderung destruktif. Jadikanlah media sebagai cara santun dawah bi al-qalam mengajak ke arah kebaikan melalui tulisan. Marah Roesli pernah mengemukakan bahwa watak pers dan media yang sejati adalah untuk kepentingan umum. Yakni satu untuk bersama dan bersama untuk satu. Oleh karena itu dibutuhkan adanya dialog serta saling keterbukaan dari banyak pihak. Jika saling keterbukaan telah diwujudkan, maka kasus semisal penodaan dan penistaan ajaran agama tertentu seperti aksi penyebaran al-Qur’ân palsu yang sempat meletup pada awal tahun 2002 akan relatif mudah dilacak untuk selanjutnya diretas jalur penyelasaiannya dengan baik dan damai. Mata Pedang dan Jurnalisme Perang Sebagai pewarta kebenaran, media massa dituntut mengungkapkan segenap fakta, segetir apapun ia. Berbagai konflik kemanusiaan yang bernuansa agama, misalnya, mesti ia paparkan dengan apa adanya. Namun demikian, seorang jurnalis tetaplah manusia biasa yang pada dimensi lain dalam dirinya masih menampakkan suara nurani yang pekat. Artinya, sebagai sebuah gejala Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 dan ironi kemanusiaan, beragam konflik keberagamaan tentu tak dinginkan oleh siapapun untuk terjadi dan senantiasa terulang kesekian kali. Tepat di garis inilah, kepekaan dan humanisme seorang jurnalis media diuji. Tepat di aras ini pulalah, jurnalisme damai peace journalism menjadi bukan sekadar wacana retoris yang dihembuskan kalangan media, melainkan merupakan tuntutan sekaligus tuntunan bagi para pecinta dialog dan kedamaian untuk diterapkan secara nyata di lapangan kehidupan. Secara sederhana, jurnalisme damai dapat diartikan sebagai suatu praktik jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik serta perihal hikmah di balik konflik itu sendiri bagi entitas kemanusiaan. Jurnalisme damai memandang konflik sebagai tragedi kemanusiaan yang tak seharusnya terjadi. Ia pun pada dasarnya merupakan seruan kepada semua pihak untuk merenungi kerugian yang bisa ditimbulkan akibat konflik, baik itu psikologis, budaya, dan struktur sosial kemasyarakatan yang menjadi korban. Artinya, ada semacam ajakan reflektif untuk segera bertindak, mengambil hikmah, serta mengedepankan visi kedamaian dalam setiap tindakan manusia. Jurnalisme damai adalah genre jurnalisme yang lebih menonjolkan harapan dan hasrat untuk berdamai daripada aroma dendam dan kebencian kepada pihak yang terlibat pertikaian. Berbeda dengan jurnalisme perang war journalism yang kerap dipraktikkan media-media Barat, jurnalisme damai lebih mementingkan sisi empatikepada korban-korban konflik ketimbang liputan kontinu dan Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana Yogyakarta LKiS, 2001, 167. Sebenarnya secara prinsip, jurnalisme damai bukanlah lawan atau kebalikan dari jurnalisme perang, melainkan jurnalisme alternatif yang disodorkan karena seringnya jurnalis media mengalami conflict of interest dalam penurunan hasil berita. Lihat Maria Hartiningsih, Jurnalisme Damai Multikultural Bogor Makalah Diklat Jurnalis Dakwah ICIP, 2005, 4. Empati atau perasaan untuk bersedia terlibat dalam kesadaran, derita, dan psikologi pihak lain acapkali diabaikan oleh para jurnalis. Padahal, dengan berempati, orang bisa menebar simpati kemanusiaan secara alamiah, santun, lembut, dan penuh kasih kepada pihak lain yang biasanya terdiri dari orang-orang yang ditindas dan dikorbankan dengan beragam cara. Dengan jurnalisme empati, secara tidak langsung jurnalis membantu memberikan harapan dan optimisme hidup yang dibutuhkan banyak orang. Lebih jauh dan eksploratif perihal jurnalisme jenis ini. Irwan Julianto, Jika Ia Anak Kita AIDS dan Jurnalisme Empati Jakarta Penerbit Kompas, 2004. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan bombastis tentang jalannya konflik itu sendiri. Ciri lain dari jurnalisme ini adalah penghindaran akan keberpihakan serta pemberitaan ihwal kebenaran dan keadilan dalam wujud yang sesungguhnya. Bahkan jika perlu, jurnalisme damai akan berusaha menyebutkan nama pelaku kejahatan evil-doers di kedua belah pihak guna mengungkapkan kebenaran maupun kebohongan pada masing-masing ditilik secara historis-formal, istilah jurnalisme damai pertama kali muncul menjadi wacana serius dalam kegiatan Kursus Jurnalisme Perdamaian yang diadakan di Taplow Court, Buckinghamshire Inggris pada 25-29 Agustus 1997. Ia dicetuskan sebagai kritik terhadap kecenderungan jurnalisme perang yang digembar-gemborkan pers Barat. Sebagaimana diketahui, media-media Barat dalam meliput perang di berbagai tempat di belahan dunia terbiasa dengan pola yang menempatkan konflik yang terjadi sebagai persoalan “menang-kalah” atau “ditundukkan dan menundukkan” layaknya sebuah pertandingan olahraga. Pemberitaan yang dihidangkan terlalu berfokus pada aksi-aksi kekerasan yang mewarnai konflik tanpa banyak kesudian guna lebih lanjut mengkaji akar konflik, dampak-dampak, serta bagaimana solusi pencegahannya. Akibatnya, jurnalisme perang tak ubahnya exposing yang malah mengobarkan semangat perselisihan yang penuh kebencian. Sehingga war journalism tak ubahnya semakin mengasah “mata pedang” kebencian bagi pihak-pihak yang memang tak menginginkan adanya dialog harmonis dan kerukunan lintas agama terwujud dalam kenyataan. Posisi yang diperankan oleh jurnalisme perang ini jika dirujuk lebih dalam jelas-jelas mengingkari dan menodai fungsi asasi dari media Dalam khazanah jurnalistik, jurnalisme damai bisa digolongkan pada jenis berita mendalam feature yang berusaha menyingkap beragam sisi di seputar konflik. Jurnalisme damai, misalnya, pada sebuah kasus akan cenderung menelusuri penderitaan orang-orang yang kehilangan sanak saudara dan terusir dari kampung halaman, kisah-kisah traumatik anak-anak yang terpisah dari orang tuanya, serta sejumlah latar cerita yang dramatis di balik konflik lainnya. Sudibyo, Politik Media, 168. Ibid. Namun demikian, secara informal jurnalisme damai sudah mulai berkembang dan dipraktikkan sejak awal tahun 1970-an salah satu tokoh penting yang memomulerkan istilah ini adalah profesor studi perdamaian terkemuka, Johan Galtung dan disosialisasikan secara intensif di berbagai negara di dunia, khususnya di wilayah-wilayah konflik, mulai akhir tahun 1980-an. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 itu sendiri sebagai pelayan masyarakat. Dengan kata lain, media boleh dikatakan gagal berpartisipasi dan memberikan kontribusi positif bagi tatanan kehidupan sosial, khususnya kerukunan beragama. Oleh karenanya, kehadiran jurnalisme damai sungguh sebuah sumbangan yang layak dinanti oleh lapisan publik. Dalam bahasa yang lain, A. Muis menyebut jurnalisme yang berpihak pada kemaslahatan khalayak ini dengan istilah jurnalisme partisipasi. Jurnalisme semacam ini berangkat dari hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari media. Jurnalisme partisipasi mampu melibatkan pikiran dan perasaan sepenuhnya dalam suatu kejadian yang akan diberitakan yang mempunyai nilai berita dan atau menggabungkan teknik jurnalistik investigasi dengan teknik jurnalistik interpretasi. Dengan cara itu, dalam spektrum sosial-politik misalnya pers bisa tetap menjadi penjaga, pemantau, dan sekaligus pengontrol terhadap jalannya pemerintahan atau mendorong terciptanya pemerintahan yang baik lagi bersih good governance dan pelaksanaan demokrasi watch dog.Di Indonesia, jurnalisme damai mulai menjadi wacana yang ramai diperbincangkan pada saat maraknya kasus bernuansa SARA di Ambon, Kalimantan, Jakarta, Sulawesi, dan berbagai tempat lain di seantero nusantara. Serentetan tragedi SARA, terutama di awal 1990-an, yang menyeruak di berbagai media membuat masyarakat menanggapinya dengan tergagap. Realitas ini bisa dimaklumi karena pada masa-masa sebelumnya era Orde Baru, konflik-konflik seperti ini tersembunyikan di bawah karpet tebal “persatuan dan kesatuan” dan diselesaikan dengan cara represif. Pihak yang berseteru dibungkam dan di level permukaan konflik didesain seolah sudah usai. Karenanya, konflik demi konflik bernuansa SARA di Indonesia tak ubahnya bom waktu yang secara akumulatif telah tertanam semenjak lama. Dalam kondisi sosial yang serba buram tersebut, jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis mentransformasikan realitas faktual sebagai realitas media. Bahwa media dan jurnalis bebas berekspresi adalah hal yang tiada terbantah, namun penting ditelisik apakah media sudah cukup dengan seperangkat pengetahuan dan pengalamannya selama puluhan tahun ditindas? Merespons maraknya tragedi kemanusiaan dan konflik antaragama, rasanya “jurnalisme titik” baca konvensional, dengan A. Muis, “Pers Indonesia Sebagai Agent of Reform”, Kompas, 09 Februari 1999, 4. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan matra pokok 5W+1H tidak lagi memadai. Dalam situasi sosial yang karut-marut, jurnalisme tak bisa digunakan secara naif. Pada dimensi tertentu, jurnalisme damai menyuguhkan alternatif bagaimana jurnalis bekerja dalam situasi yang penuh tekanan dan sarat resiko. Lebih-lebih dalam bingkai kesetempatan yang mau tak mau secara emosional merangsang orang untuk larut terlibat dalam konflik, seorang jurnalis dituntut menajamkan nurani kemanusiaannya. Bagaimanapun mereka bukanlah media dan jurnalis asing yang semaunya memahami fakta konflik seperti melihat peristiwa dalam sebuah kotak kaca. Sekali lagi, bagaimana jurnalis bekerja sementara ia juga berada dalam satu kotak kaca. Jack Lynch dan Annabel McGoldrick mewakili pangamat media yang pro-jurnalisme damai mengemukakan bahwa pada kenyataannya tak semua media sudi menerima konsep jurnalisme damai. Banyak di antara pemilik media yang lebih senang menggunakan jurnalisme perang karena beragam sebab. Di antaranya dari segi ekonomi, jurnalisme perang lebih menjanjikan keuntungan profit. Paradigma jurnalisme ini lebih leluasa memotret—meminjam istilah antropolog E. Valentine Daniel—kekerasan yang telanjang pornography of violence. Semakin variatif tindakan kekerasan, semakin panas sebuah pertikaian, maka ia akan kian meningkatkan antusiasme publik terhadap media. Bahkan ada sejumlah kalangan yang berapologi bahwa jurnalisme selamanya bersifat obyektif, sementara konsep damai lebih cenderung subjektif. Keduanya tak akan bisa disatukan. Merujuk kepada pandangan ini, maka aspek nurani dan kepedulian sosial menjadi tidak penting untuk dilibatkan. Di bingkai inilah jurnalisme damai hendak mengetuk kesadaran akan pentingnya persaudaraan kemanusiaan sebagai sesama makhluk sosial. Dalam penilaian Maria Hartiningsih, kendati tetap memakai pola komprehensif cover both sides bahkan multisides sebagaimana jurnalisme baku pada umumnya, dalam jurnalisme damai mind set pola pandang jurnalis dikerangkai oleh kehendak dan spirit untuk menyelesaikan setiap konflik secara damai. Karenanya ia membutuhkan tak hanya stamina, tapi juga compassion pemahaman bahwa sebagai manusia kita seharusnya disatukan oleh kemanusiaan kita serta kenyataan alamiah bahwa kita hidup di bumi yang serupa. Hartiningsih, Jurnalisme Damai Multikultural, 4. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 Pendek kata, jurnalisme damai mengajak jurnalis untuk memahami konflik hingga ke dimensi terdalam yang bisa dirasakannya. Karena itu, ada yang mengistilahkan jurnalisme demikian dengan jurnalisme analisis konflik disebabkan dalam menjalankan tugasnya, jurnalis perlu memiliki pengetahuan seputar analisis konflik. Dengan begitu ia akan tahu apa saja yang mesti ia perbuat dan apa saja hal yang mesti dihindarinya. Di samping itu ia juga dituntut memahami sejumlah hal, mulai dari akar konflik dan kekerasan, dampak sosial, metode pemecahan konflik solusi, menyuarakan rekonstruksi, rekonsiliasi dan resolusi konflik, membantu menggelar dialog, serta menolong semua pihak terkait untuk mengubur dendam, memulihkan harapan dan menjalin persaudaraan damai. Jurnalisme damai menjadi satu di antara beberapa kunci strategis yang diharapkan mampu merangkai dialog antaragama, membina kerukunan, dan memelihara citra dan suasana keberagamaan yang meneduhkan. Karena itu, menatap agenda antaragama ke depan, sudah waktunya media massa berpartisipasi secara kontributif melalui penerapan jurnalisme dialogis yang adil, terbuka, dan menyejukkan semua pihak. Berkiblat ke Bali Indonesia termasyhur sebagai salah satu negara yang dipenuhi oleh keragaman budaya dan agama. Kemajemukan sosial di dalamnya merupakan potensi kelebihan yang positif apabila dijaga dan dikelola dengan benar. Namun sebaliknya, ia boleh menjadi titik negatif dan sumber konflik sosial yang besar jika tak disertai dengan kuatnya pemahaman budaya serta keberagamaan. Banyak orang, khususnya orang asing, yang terkesan dengan kerukunan lintas agama di bumi nusantara. Salah satu daerah yang terkenal dengan kerukunan serta keragaman budaya dan agamanya adalah Bali. Bukan hal yang aneh jika Pulau Dewata ini kerap dijuluki sebagai miniatur ideal atau gambaran “Indonesia Mini” karena kehidupan di sana yang plural namun terkelola dengan cukup baik. Populasi Muslim sejauh ini masih terbanyak di Indonesia kira-kira 85 persen, sementara komunitas agama-agama yang lain berkisar di angka 15 persen dari total jumlah penduduk nasional. Fenomena yang menarik, perselisihan antaragama di Indonesia yang paling sering adalah antara kaum Muslim versus pemeluk Kristen Katolik dan Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan Protestan. Timbul pertanyaan, mengapa umat Islam Indonesia jarang sekali bertikai dengan umat selain Kristen? Padahal di Indonesia, ada banyak agama lain seperti Buddha, Hindu, Konghucu, serta pelbagai sekte-sekte aliran ditelisik dari sisi historis, agama yang sejak awal berhadapan face to face pada masa awal masuknya Islam di nusantara adalah Hindu, bukan Kristen. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu sudah lama tumbuh dan bertahan lama di berbagai wilayah, terutama di pulau Jawa. Bukti ini bisa ditelusuri dari paparan sejarah ihwal kerajaan-kerajaan besar di nusantara yang menjadikan Hindu sebagai ajaran utama mereka. Kerajaan dianggap sebagai sentrum dari penyebaran kekuasaan serta agama yang mudah diterima masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa datangnya Islam telah berhasil meruntuhkan hegemoni kerajaan dan simpul-simpul agama Hindu. Semestinya, agama Hindulah yang sakit hati dan membalas dendam kepada umat Islam atas lunturnya pengaruh Hindu di Indonesia, terutama di Jawa. Bukan Kristen yang selama ini menjadi “musuh utama” umat Muslim. Apabila diamati memang kaum Hindu khususnya di Indonesia cenderung lebih toleran dan lunak ketika bergaul dengan komuniti Muslim. Hal itu antara lain dipengaruhi oleh doktrin ajaran Hindu yang cenderung “pasif” dan tidak terlalu memaksakan orang lain untuk memeluk agama mereka. Dalam Hindu tak ada penekanan yang berlebihan tentang kewajiban menyebarkan agama, sebagaimana ditemukan pada doktrin-doktrin pada agama-agama samawi, semacam ideologi dakwah Islam atau misionari Kristen. Karena itu, kalau pengamat antarbangsa seperti Sajida Alwi dan Mohamed Arkoun pernah menjuluki Indonesia sebagai bangsa dengan model kerukunan antaragama yang tipikal Qur’âni, maka Komarudin Hidayat menyebut bahwa miniatur serta prototipe kerukunan antaragama yang paling harmonis dan sangat kondusif adalah masyarakat di pulau Bali. Realitas ini menyuguhkan gambaran bahwa kasus dan konflik yang melibatkan komunitas Hindu dan Muslim di Indonesia amat jarang terjadi. Bandingkan dengan konflik antaragama yang terus menerus berlaku hingga sekarang antara umat Islam dan Kristen di Indonesia. Bahkan, konflik juga masih sering berlaku antara umat Muslim berhadapan dengan penganut Konghucu dan Buddha yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat dari etnis Tionghoa Cina. Lihat M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, 20. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 Lanskap mutakhir kehidupan beragama antara masyarakat Muslim dan Hindu di Indonesia melahirkan asumsi bahwa hubungan kedua agama tersebut selama ini berlangsung cukup harmonis, kondusif, dan patut dijadikan contoh model kerukunan pengamat yang menilai harmoni antara pemeluk Hindu dan Islam terutama di Bali, memberikan gambaran akan berpadunya dua entitas ideologi yang mampu meminimalisir potensi konflik lintas agama. Bali sebagai basis dari penganut ajaran Hindu di nusantara terbukti mampu hidup damai berdampingan dengan komuniti Muslim yang juga berjumlah tak sedikit di sana. Sedangkan umat Islam yang mayoritas menghuni pulau Jawa juga terbukti tak banyak bermasalah hidup bersama kaum mayoritas, kaum Hindu di Bali mampu mengamalkan ajaran toleransi yang didoktrinkan ideologi mereka secara aplikatif dan tepat dalam kehidupan praktis keseharian. Dalam Ajaran Hindu, terdapat salah satu prinsip utama, yaitu harmoni agama, yang merupakan perwujudan dari sifat kejujuran satya dan kesederhanaan ahimsa. Selanjutnya dapat dirujuk pada Osman Bakar et. al., Modul Pengajian Tamadun Islam dan Tamadun Asia Kuala Lumpur Penerbit Universiti Malaya, 86. Sedangkan ihwal tragedi Bom Bali I 12 Oktober 2002 dan II 1 Oktober 2005 yang sempat mengguncang Pulau Dewata, lebih disebabkan adanya teroris dan pengacau dari luar Bali yang datang menyusup dan sengaja hendak merusak dinamika harmoni lintas iman yang sudah terawat di sana. Mereka bukan penduduk setempat. Para sejarawan dan pengamat agama di Indonesia, misalnya, menyaksikan peristiwa langka pada 24 maret 1993, di mana saat itu umat Hindu di Bali merayakan hari raya Nyepi yang bertepatan pula dengan hari raya Idul Fitri Islam 1314 hijriyah. Umat Islam di sana rela berhari raya dan berpuasa dengan cara yang sederhana, tak keluar rumah, tak membuat perayaan yang ramai, demi menghormati pemeluk Hindu. Padahal kita tahu, saat itu kaum Muslim diperintahkan untuk keluar membagi zakat fitrah, bersilaturrahmi, membaca takbir dan tahmid. Bahkan pada perayaan Hari Raya Nyepi yang terbaru tahun 2012 pun bertepatan dengan hari Jumat, Muslim di Bali bersedia untuk salat Jumat di rumah saja dan tak pergi ke masjid beramai-ramai. Demikian pula yang terjadi di Jawa. Sampai hari ini masyarakat Muslim di Kudus Jawa Tengah tidak berani menyembelih sapi di daerah mereka sebagai tanda toleransi bagi umat Hindu yang meyakini sapi sebagai makhluk suci. Konon, ini adalah pusaka sejarah yang diwariskan Sunan Kudus untuk penghormatan terhadap penganut agama lain Hindu. Bahkan, menara masjid utama di kota Kudus didesain khusus menyerupai menara kerajaan peninggalan Majapahit, sentrum daripada peradaban Hindu di nusantara. Demikianlah gambaran harmoni antaragama Islam dan Hindu di Indonesia yang sejuk dan damai. Lihat Jean Couteau et al., Bali Today Modernity Jakarta Gramedia, 2005, 106-107. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan Kondisi sosial-historis ini menunjukkan bahwa telah terjalin perpaduan antaragama maupun antara agama dan tradisi-tradisi lokal di nusantara. Fakta ini antara lain bisa ditelaah melalui paparan sejarah yang menunjukkan betapa antara Islam dan Hindu telah lama melakukan pertautan hubungan yang akrab. Bali kemudian menjadi tempat yang subur bagi tumbuh berkembangnya ajaran Hindu disebabkan kondisi masyarakat Bali yang ramah terhadap pendatang dan tidak suka kekerasan anarkisme. Fenomena tersebut dianggap cocok dengan karakter kelembutan orang Bali. Munculnya sejumlah gejala keagamaan yang kemudian disebut dengan istilah “sinkretisme” tak lain adalah lanskap nyata dari adanya pluralitas agama dan budaya yang sudah saling bertegur sapa di nusantara. Umat Hindu Indonesia yang 95 persen tinggal di pulau Bali secara praktis telah mengamalkan ajaran-ajaran kasih yang diwariskan Penganut agama Hindu di Indonesia mayoritas berasal dan tinggal di pulau Bali. Masyarakat Bali sendiri menganggap bahwa agama Hindu mereka agak berbeda dengan Hindu di India. Hindu Bali dikenal lebih toleran, ramah, dan terbuka. Sementara di India dikenal lebih fanatik dan keras. Sejarah membuktikan bagaimana konflik antara umat Hindu dan Islam di wilayah anak benua Hindia yang sampai kini belum kunjung reda. Perang kecurigaan serta kerusuhan komunal masih senantiasa terjadi. Belum lagi konflik yang menlibatkan antara komunitas Hindu dan Sikh di Punjab dan Delhi. Lihat Hasan Asykari, Dialog Spiritual Lintas Iman Yogyakarta LKiS, 2003, 168. Cukup banyak dijumpai perbedaan antara Hindu Bali dan Hindu India. Salah satu anasir dijumpai oleh Slamet Muljana, yakni upacara ritual pemujaan arwah leluhur. Ritual ini hanyalah khusus di kalangan umat Hindu Indonesia Bali. Lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara Yogyakarta LKiS, 2009, 250. Sementara bukti perbedaan lain yang diungkapkan oleh Michel Picard adalah ketidaksamaan sistem kasta. Menurut Picard, hirarki kasta masyarakat Hindu di Bali yang melahirkan kelompok Brahmana, Satria, dan Wesia, secara prinsipil tak sama dengan India. Lebih jauh. Lihat Michel Picard, Bali, Cultural Tourism, and Touristic Culture New York Archipelago Press, 1996, 22. Karakter ramah masyarakat Bali memungkinkan agama Hindu dengan cepat mampu berkolaborasi dengan kearifan budaya lokal. Bila dibandingkan dengan kondisi sosial antara komunitas Hindu dan Muslim di tempat-tempat lain, relasi antara Hindu-Muslim di Bali relatif jauh lebih teduh dan damai. Sebagai contoh, di Malaysia yang dihuni sekitar 10 persen penganut Hindu dan 60 persen Muslim, masih seringkali dilanda konflik dan kasus lintas agama, khususnya antara Hindu dan Islam. Lihat Berita Dunia-BBC News, “Pressure on Multi-Faith Malaysia”, 16 Mei 2006. Bahkan di India, tempat asal dari agama ini juga mengalami konflik yang melibatkan sejumlah agama Hindu, Islam, dan Sikh yang tak kunjung selesai hingga sekarang. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 oleh Mahatma Gandhi, tokoh panutan mereka. Dalam pandangan mereka, kebenaran tertinggi summum bonum hanya bisa dicapai antara lain dengan jalan menghormati kelompok lain dengan sikap saling percaya serta bekerjasama tanpa dihinggapi rasa keakuan egolesness dalam mewujudkan kerukunan yang damai. Di internal Hindu sendiri amat banyak ditemui perbedaan dan keragaman dalam menjalankan ritual. Namun itu bisa dipelihara sebagai kekayaan religius yang sejuk dan tanpa pertentangan berarti. Kearifan dinamika internal inilah yang dijadikan acuan masyarakat Hindu dalam menciptakan toleransi, kerukunan, dan kerjasama antaragama dalam bingkai jagadhita, masyarakat multikultural yang damai dan sejahtera. Dengan berbagai keunikan dan karakteristiknya, relasi masyarakat beragama di Bali telah memberikan teladan dan contoh yang teduh dan aplikatif bagi iklim kehidupan lintas agama dalam lingkup yang luas. Catatan Akhir Beberapa kendala dan problematika di atas adalah sejumlah permasalahan yang memayungi iklim kerukunan antaragama di Indonesia. Barangkali tidak semua wilayah dan tempat memiliki permasalahan yang serupa. Semua sangat bergantung kepada lokalitas suatu wilayah serta kedewasaan masyarakat setempat dalam menghadapi dan mengelolanya. Yang jelas, sebagai bagian dari kaum beragama yang cinta terhadap kerukunan dan perdamaian, sejumlah problema tersebut tak mesti disikapi dengan skeptis. Sebaliknya, ia dapat kita baca sebagai celah peluang dan harapan untuk terus optimis dalam mengatasi rintangan yang menghadang demi terciptanya tatanan masyarakat lintas agama yang rukun, terbuka, dan harmonis. Niscayalah bagi segenap insan beragama untuk tetap menjaga keutuhan dan kerukunan hidup beragama. Masing-masing kita memiliki tanggungjawab untuk menjadikan agama sebagai pengayom all embracing yang mempunyai daya penggugah bagi semua manusia. Tatkala harmonitas antaragama masih berhenti sebatas dalam bentuk slogan, maka pada saat yang sama kita mestilah berkaca diri jangan-jangan memang ada something wrong dalam cara kita beragama selama ini. Bukan hanya dugaan adanya kesalahan, namun dapat dipastikan bahwa telah ada sesuatu yang keliru dalam khazanah kehidupan beragama kita. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan Sepatutnya kesalahan itu ditelusuri, diakui, dan selanjutnya diperbaiki dan dicarikan solusi. Sungguhpun diskursus hubungan lintas agama merupakan wilayah yang peka, selamanya tetap tak menutup kemungkinan untuk menghimpun perbedaan demi perbedaan yang ada menjadi sebuah lingkaran keutuhan yang kokoh. Dengan potensi sophisticated dan magic-nya, janganlah sentimen agama selalu dijadikan bara untuk membakar para penganutnya menuju ke arah perbenturan-perbenturan sosial yang negatif. Bahwa setiap agama memiliki banyak media dengan ragam wacana di dalamnya, hal itulah semestinya disikapi sebagai kesempatan terbaik untuk membuka dan menjalin dialog antaragama hingga apa yang dinamakan “percakapan peradaban” benar-benar kongkret terwujud dan bukan semata gagasan manis yang utopis. Memang tidak sedikit di antara kita yang sulit menerima dan mencerna perbedaan, apalagi menghargainya. Benda-benda anugerah Allah yang beragam warna di muka bumi ini, seharusnya mengingatkan kita agar selalu berlapang dada, terbuka, toleran dan saling menghargai apapun perbedaan itulah yang sejatinya merupakan tantangan bagi ikhtiar sosial bagi terbinanya perdamaian dan kerukunan lintas keyakinan. Ketika ragam perbedaan itu kita syukuri, niscaya ia akan menjelma rahmat yang nikmat dirasakan bersama. Alangkah bijak apabila kita sudi untuk terus belajar dari dan dalam menghadapi kegagalan. Tak terkecuali belajar dari langkah-langkah dari tapak sejarah. Banyak yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari sejarah bangsa-bangsa di belahan manapun di dunia. Belajar dari kegagalan negara dalam mengelola kepentingan agama di dalamnya. Begitu pula sebaliknya. Pada tahun 1980-an bangsa Lebanon ditimpa ketidakmampuan mengatasi persoalan akibat perubahan perbedaan yang terjadi dalam lapisan demografi, ekonomi, dan lebih-lebih keagamaan. Namun berbekal tekad dan kebersamaan, mereka bisa belajar dan bangkit dari keterpurukan. Melalui penyelesaian-penyelesaian solutif, akhirnya mereka bisa stabil dan hingga sekarang menjadi sebuah negara yang aman penuh kedamaian. Yang krusial untuk disikapi saat ini adalah bagaimana membenahi serta mempersegar penafsiran-penafsiran terhadap wujudnya pelbagai Ummu Bella, “Warna Bermakna”, Sabili, 02-09-98, 72. Azra, Islam, 148. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 khazanah perbedaan. Karena perbedaan adalah suatu hal yang dinamis seiring laju sang waktu, maka untuk menyikapinya diperlukan tawaran tafsir-tafsir baru yang lebih elegan, up to date dan segar. Pemahaman yang rigid dan sekadar black and white akhirnya akan menjelma pigmen buram sekaligus pengingkaran terhadap kesadaran plural bahwa kita memang diciptakan dalam dan untuk sebuah perbedaan dan kemajemukan. Apabila revisi dan redefinisi kesadaran serta pemahaman keagamaan serta keberagamaan di antara kita tak kunjung diwujudkan, maka gugatan terhadap visi ideologis kita yang mengaku makhluk agamis ini akan terus-menerus menggema. Karena bagaimanapun, lentera agama akan selalu berpendar menyala, manakala ajaran-ajarannya terpatri subur di hati manusia. Dan hal itu akan tampak ketika kedamaian telah melingkupi semesta dan perilaku-perilaku anarkhi musnah hingga ke akarnya. Kalau tidak, maka tiada keliru apa yang pernah dikhawatirkan oleh Bung Karno yang pernah menyatakan bahwa “terhadap ajaran agama, kita kadang hanya bisa dikotori oleh abu-abunya dan kita telah gagal menangkap nyala apinya”.Daftar Rujukan Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002. Ali, Mohammad Daud. Agama Islam. Jakarta Koordinatoriat MKDU UI, 1992. Asykari, Hasan. Dialog Spiritual Lintas Iman. Yogyakarta LKiS, 2003. Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung Mizan, 2000. Bakar, Osman et. al., Modul Pengajian Tamadun Islam dan Tamadun Asia. Kuala Lumpur Penerbit Universiti Malaya. Bella, Ummu. “Warna Bermakna”, Sabili, 02-09-98, 72. Berita Dunia-BBC News, “Pressure on Multi-Faith Malaysia”, 16 Mei 2006. Couteau, Jean et al. Bali Today Modernity. Jakarta Gramedia, 2005. Hartiningsih, Maria. Jurnalisme Damai Multikultural. Bogor Makalah Diklat Jurnalis Dakwah ICIP, 2005. Hefner, Robert W. Islam Pasar Keadilan. Yogyakarta LKiS, 2001. Soekarno, “Surat Islam Kesebelas Untuk Hassan”, Republika, 06-06-2002, 7. Ali Hisyam dan Wan Ali—Membaca Tantangan Jaiz, Hartono Ahmad. “Kewajiban Menerapkan Syariat Islam, Membincang Kontroversi Islam Liberal”, Media Dakwah, Juni 2002. Johnson, James Turner. Perang Suci atas Nama Tuhan dalam Tradisi Barat dan Islam. Bandung Pustaka Hidayah, 2002. Julianto, Irwan. Jika Ia Anak Kita AIDS dan Jurnalisme Empati. Jakarta Penerbit Kompas, 2004. Kompas, 09-02-2002, 3. Kuntowijoyo. “Kaidah-kaidah Demokrasi”, Majalah Ummat, 14-10-96. Machasin. Mutasyabih al-Qur’an Dalih Rasionalitas al-Qur’an al-Qadli Abdul Jabbar. Yogyakarta LKiS, 2000. Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta Paramadina, 1997. -. Perjalanan Religius Umroh dan Haji. Jakarta Paramadina, 1997. -. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta Paramadina, 1966. Muis, A. “Pers Indonesia Sebagai Agent of Reform”, Kompas, 09 Februari 1999. Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta LKiS, 2009. Picard, Michel. Bali, Cultural Tourism, and Touristic Culture. New York Archipelago Press, 1996. Qodir, Zuly. Agama dalam Bayang-bayang Kekuasaan. Yogyakarta Dian dan Interfidei, 2001. Sik, Je Dae. Gerakan-gerakan Keagamaan di Korea dan Indonesia di Awal Abad 20 Studi Historis. Yogyakarta Dua Dimensi, 1985. Sinaga, Pdt Martin. “Kristenisasi Sungguh-Sungguh Terjadi”, Wawancara, Jawa Pos, Edisi 26-05-2002. Soekarno. “Surat Islam Kesebelas Untuk Hassan”, Republika, 06-06-2002. Soekiman, Joko. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa. Yogyakarta Penerbit Bentang, 2000. Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta LKiS, 2001. Sumartana, Th. Dkk. Agama dan Negara Perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Protestan. Yogyakarta Dian dan Interfidei, 2002. Teosofi—Volume 5, Nomor 1, Juni 2015 3 Wales, Quaritch. “The Making of Greater Indis A Study of South East Asia Culture Change”, Journal of the Royal Asiatic Society. Cambridge Cambridge University Press, 1948. Zaini, KH. Wahid dkk. Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi. Yogyakarta LKiS, 1996. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Yamashita Michel PicardCelebrated for the richness of its artistic and religious traditions, the island of Bali has made its culture the brand image of its tourist product. This has aroused fears among foreign observers and indigenous authorities alike, who wonder in unison whether Balinese culture will survive the impact of tourism. But beyond the legitimate disquiet that it signals, this question is misleading, for it implies that tourism is an external force striking a receptive milieu, whereas the issue really is to understand how the touristification of a society works from within, affecting the view that a society has of itself. To this end, the author puts into perspective the way the Balinese present their culture to tourists, and the way they represent it to themselves when they speak of tourism. He shows how the imperatives of the tourist promotion of their culture have conditioned their motives for preserving it to the extent that the Balinese end up taking the brand image of their tourist product as a marker of their cultural identity. Incited to preserve and promote their culture in regard to the tourist gaze, the Balinese today have come to the point where they look to tourists for confirmation of their "Balinese-ness".Masyarakat Bali sendiri menganggap bahwa agama Hindu mereka agak berbeda dengan Hindu di IndiaPenganut Agama Hindu Di Indonesia Mayoritas Berasal Dan Tinggal Di Pulau BaliPenganut agama Hindu di Indonesia mayoritas berasal dan tinggal di pulau Bali. Masyarakat Bali sendiri menganggap bahwa agama Hindu mereka agak berbeda dengan Hindu di India. Hindu Bali dikenal lebih toleran, ramah, dan membuktikan bagaimana konflik antara umat Hindu dan Islam di wilayah anak benua Hindia yang sampai kini belum kunjung reda. Perang kecurigaan serta kerusuhan komunal masih senantiasa terjadi. Belum lagi konflik yang menlibatkan antara komunitasSementara Di India Dikenal Lebih Fanatik Dan KerasSementara di India dikenal lebih fanatik dan keras. Sejarah membuktikan bagaimana konflik antara umat Hindu dan Islam di wilayah anak benua Hindia yang sampai kini belum kunjung reda. Perang kecurigaan serta kerusuhan komunal masih senantiasa terjadi. Belum lagi konflik yang menlibatkan antara komunitas Hindu dan Sikh di Punjab dan Delhi. Lihat Hasan Asykari, Dialog Spiritual Lintas Iman Yogyakarta LKiS, 2003, 168. Cukup banyak dijumpai perbedaan antara Hindu Bali dan Hindu ini hanyalah khusus di kalangan umat Hindu Indonesia Bali Lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara Yogyakarta LKiS, 2009, 250. Sementara bukti perbedaan lain yang diungkapkan oleh Michel Picard adalah ketidaksamaan sistem kastaSalah Satu Anasir Dijumpai Oleh SlametMuljanaYakni Upacara Ritual Pemujaan Arwah LeluhurSalah satu anasir dijumpai oleh Slamet Muljana, yakni upacara ritual pemujaan arwah leluhur. Ritual ini hanyalah khusus di kalangan umat Hindu Indonesia Bali. Lihat Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara Yogyakarta LKiS, 2009, 250. Sementara bukti perbedaan lain yang diungkapkan oleh Michel Picard adalah ketidaksamaan sistem kasta. Menurut Picard, hirarki kasta masyarakat Hindu di Bali yang melahirkan kelompok Brahmana, Satria, dan Wesia, secara prinsipil tak sama dengan India. Lebih jauh. Lihat Michel Picard, Bali, Cultural Tourism, and Touristic Culture New York Archipelago Press, 1996, Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta Pustaka PelajarM Daftar Rujukan AbdullahAminDaftar Rujukan Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta Pustaka Pelajar, Spiritual Lintas Iman. Yogyakarta LKiSHasan AsykariAsykari, Hasan. Dialog Spiritual Lintas Iman. Yogyakarta LKiS, Pengajian Tamadun Islam dan Tamadun AsiaOsman BakarBakar, Osman et. al., Modul Pengajian Tamadun Islam dan Tamadun Asia. Kuala Lumpur Penerbit Universiti on Multi-Faith MalaysiaBerita DuniaBbc NewsBerita Dunia-BBC News, " Pressure on Multi-Faith Malaysia ", 16 Mei Today Modernity. Jakarta GramediaJean CouteauCouteau, Jean et al. Bali Today Modernity. Jakarta Gramedia, HartiningsihHartiningsih, Maria. Jurnalisme Damai Multikultural. Bogor Makalah Diklat Jurnalis Dakwah ICIP, 2005. Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Segala pujian hanya layak kita aturkan kepada Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta petunjuk-Nya yang sungguh tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang penulis beri judul ”STRATEGI MENGHADAPI
Kerukunan Umat Beragama konsep, peluang dan tantangan from Firman Nugraha Table of Contents Show Apa saja hambatan dalam menerapkan kerukunan antar umat beragama?Jelaskan apa yang menyebabkan kerukunan hidup beragama di Indonesia Terganggu?Bagaimana cara mewujudkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia?Sebutkan apa saja hal hal yang dapat mendorong terjadinya kerukunan antar umat beragama? Setiap negara di dunia memiliki keunikan tersendiri dalam membina dan memelihara kerukunan umat beragama, tak terkecuali Indonesia. Keunikan tersebut terjadi karena bermacam-macam faktor seperti sejarah, politik, sosial, budaya/etnis, geografi, demografi, pendidikan, ekonomi, serta faktor keragaman agama itu Indonesia sendiri, sejak zaman pra-sejarah sudah berkembang berbagai agama dan kepercayaan, baik agama asli seperti animisme, dinamisme, maupun agama impor yang dibawa oleh pendatang dari Barat maupun Timur. Agama-agama ini dibawa melalui jalur perdagangan, politik imperialisme, dan misi agama gold, glory, and gospel. Semenjak itulah agama-agama yang ada di Indonesia terus berkembang dan diikuti oleh semakin bertambahnya jumlah para pemeluk, hingga saat ini tak kurang ada enam agama resmi yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, ditambah dengan bermacam-macam aliran/sekte lainnya. Meskipun demikian situasi kerukunan umat beragama di Indonesia relatif terpelihara dengan melihat bagaimana kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia, mari kita tinjau dulu sekilas keadaan SEKILAS INDONESIAIndonesia atau nama resminya Republik Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah salah satu negara di dunia yang wilayahnya dilintasi khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis yang hanya mengenal dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Keadaan ini berpengaruh terhadap keragaman flora dan fauna, serta kekayaan alam. Keanekaragaman hayatinya adalah yang terbesar kedua di dunia. Wilayahnya terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan dua Samudera yaitu Pasifik dan Hindia pada 6º LU dan 11º LS, serta 95º BT dan 141º adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau, terbentang jauh memanjang dari Sabang sampai Merauke tak kurang dari 5000 km, sehingga pembagian waktunya dibagi atas tiga wilayah waktu yaitu Waktu Indonesia bagian Barat WIB, Waktu Indonesia bagian Tengah WITA, dan Waktu Indonesia bagian Timur WIT.Sumber daya alam atau kekayaan alam tersebar di daratan maupun perairan seperti laut, sungai dan danau. Populasinya lebih dari 237 juta jiwa menurut sensus tahun 2010 dengan kepadatan penduduk sebesar 124/km persegi. Terdiri dari tak kurang suku bangsa dengan aneka tradisi, adat, budaya dan bahasa yang masih terpelihara hingga kini. Berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Dengan kondisi seperti di atas, menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki spesifikasi dan keunikan-keunikan umum, spesifikasi atau keunikan-keunikan itu antara laina. Indonesia luas wilayahnya menempati urutan ketujuh di Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Wilayah Indonesia sedemikian strategis, terletak di antara dua benua dan dua samudra yang terdiri dari belasan ribu pulau yang bertebaran di sekitar garis khatulistiwa dan alamnya relatif subur dan Jumlah penduduknya menempati urutan keempat di dunia dan mayoritas beragama mengenai kondisi penduduk Indonesia maka keunikan-keunikannya antara lain, adalaha. Penduduk Indonesia sedemikian majemuk, baik mengenai banyaknya suku bangsa, budaya, bahasa daerah, agama/kepercayaan yang dianut dan Pada dasarnya bangsa Indonesia cinta damai demi persatuan dan kesatuan bangsa dengan tidak memasalahkan perbedaan-perbedaan tersebut di YANG PLURAL DAN MULTIKULTURALMenurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk plural society dan masyarakat multikultural multikultural society. Pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural yaitu suatu konsep yang menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan pluralisme budaya. Budaya adalah istilah yang menunjuk kepada semua aspek simbolik dan yang dapat dipelajari tentang masyarakat manusia, termasuk kepercayaan, seni, moralitas, hukum dan adat istiadat. Dalam masyarakat multikultural konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan membanggakan pluralisme masyarakat demikian ada tiga syarat bagi adanya suatu masyarakat multikultural, yaitua. Adanya pluralisme Adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang Adanya kebanggaan terhadap pluralisme itu. Lubis, 2005.Indonesia sendiri bahkan sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk. Oleh karena itu ungkapan “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda tetapi tetap satu yang disepakati sebagai simbol pemersatu negara Nusantara ketika berada di bawah kekuasaan Majapahit, merupakan sebuah simbol pengakuan akan kemajemukan Indonesia dan menjadi sangat tepat untuk menggambarkan realitas ke-Indonesiaan. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang terdapat unsur-unsur yang berbeda, namun kemauan untuk mempersatukan bangsa sesungguhnya mengatasi keanekaragaman itu tanpa menghapuskannya atau mengingkarinya. Keinginan bersama untuk tetap menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai realitas kehidupan, sesungguhnya dapat menjadi potensi kesadaran etik pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Pada dasarnya pula, hal tersebut dapat membentuk kebudayaan Indonesia masa depan yang bertumpu pada kesadaran akan kemajemukan yang membangun bangsa Indonesia. Zubair, tidak bisa dipungkiri dengan adanya kemajemukan dalam berbagai hal tersebut merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan atau konflik antar kelompok termasuk masalah agama. Kemajemukan atau perbedaan itu tidaklah terjadi dalam satu waktu saja. Proses yang dialami oleh masing-masing individu dalam masyarakat menciptakan keragaman suku dan etnis, yang membawa pula kepada bentuk-bentuk keragaman lainnya. Keadaan ini benar-benar disadari oleh generasi terdahulu, perintis bangsa cikal-bakal negara Indonesia dengan mencanangkan filosofi keragaman dalam persatuan atau yang dikenal dengan nama Bhinneka Tunggal Ika KERUKUNAN UMAT BERAGAMAMenyadari fakta kemajemukan Indonesia itu, pemerintah telah mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era tahun 1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia adalah agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep ini dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Pada gilirannya, dengan terciptanya tri kerukunan itu akan lebih memantapkan stabilitas nasional dan memperkokoh persatuan dan kesatuan Kerukunan Intern Umat BeragamaPerbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan ormas pendiri mazhab sendiri tidak pernah mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Justru para pengikut mazhablah yang selalu bersikap fanatisme buta meskipun kadangkala tanpa dasar berpijak yang kokoh. Sikap-sikap seperti inilah yang harus benar-benar disadari oleh masing-masing individu di antara umat untuk dirubah secara perlahan dengan cara memperbanyak mendengar, melihat, belajar, mengamati, dan berdiskusi dengan kelompok mazhab lain.Kerukunan Antar Umat BeragamaKonsep kedua ini mengandung makna kehidupana beragama yang tentram, harmonis, rukun dan damai antar masyarakat yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak ada sikap saling curiga tetapi selalu menghormati agama kebijakan dilakukan oleh pemerintah agar tidak terjadi saling mengganggu umat beragama lainnya. Semaksimal mungkin menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun, damai, tentram dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai negara kesatauan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar itu ada empat pilar pokok yang sudah disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai nilai-nilai perekat bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat nilai tersebut merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari budaya asli bangsa Indonesia. Kerukunan dan keharmonisan hidup seluruh masyarakat akan senantiasa terpelihara dan terjamin selama nilai-nilai tersebut dipegang teguh secara konsekwen oleh masing-masing warga muka telah dijelaskan mengenai bagaimana seharusnya kita bergaul dengan sesama saudara seagama, dan bagaimana pula sikap kita terhadap umat agama yang berbeda. Perlu disadari bahwa hidup dan kehidupan dunia senantiasa bersifat majemuk, tidak mungkin setiap orang akan memilki pandangan yang sama terhadap suatu masalah termasuk dalam hal saudara yang tidak seiman tetap ada kewajiban yang mesti ditunaikan dan dijaga, yaitu kehormatannya, harta bendanya serta hak-hak privasinya sepanjang mereka tidak mengganggu aqidah dan pelaksanaan ibadah kita. Mereka berhak untuk bekerjasama menciptakan linkungan yang sehat, bersih, indah dan aman bagi setiap anggota masyarakat di lingkungannya. Negara kita berpenduduk jutaan jiwa dengan memeluk berbagai agama, sebagaimana terjadi hampir di setiap negara, ada yang beragama Islam, Kristen Protestan, Katholik, Budha, Hindu, dan pemeluk suatu agama dipersilahkan masing-masing untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu secara khidmat dan khusyuk. Dan bagi pemeluk agama yang lain tidak mengganggunya atau mencampurinya. Juga jangan memaksakan keyakinannya kepada orang hal yang juga perlu mendapatkan perhatian dan kehati-hatian serta kewaspadaan, terutama oleh para pemuka tiap-tiap pemuka agama, yaitu dalam rangka memperingati hari-hari besar agama, hendaklah hanya melibatkan pemeluk agama yang bersangkutan saja, jangan sampai pemeluk agama lain ikut dilibatkan. Hal yang demikian bertentangan dengan semangat kerukunan umat beragama itu misalnya peringatan maulid nabi Muhammad SAW, natal, waisak, nyepi dan sebagainya. Semua peringatan-peringatan itu hanya diikuti oleh pemeluk agama yang bersangkutan saja agar tidak menimbulkan keresahan hidup berdampingan, tidak campur aduk satu sama demikian, yang harus rukun itu umat beragamanya dalam rangka hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan ajaran karena itu Pemerintah selaku pembuat kebijakan berupaya mengakomodir kepentingan setiap penganut agama dengan mengeluarkan berbagai peraturan tentang kerukunan umat beragama. Ada empat pokok masalah yang diatur dalam peraturan-peraturan itu1. Pendirian rumah Penyiaran Bantuan keagamaan dari luar Tenaga asing di bidang ada halangan bagi orang mukmin maupun sesama pemeluk agama untuk tidak mentaati pemerintah. Negara Kesatuan Republik Indonesia memang bukan negara agama, artinya negara tidak mendasarkan kehidupan kenegaraannya pada sakah satu agama atau theokratis. Tetapi, pemerintah berkewajiban melayani dan menyediakan kemudahan-kemudahan bagi agama-agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha serta memikul tugas kerukunan hidup umat Undang Dasar 1945 bab IX Pasal 19 Ayat 1 menyiratkan bahwa agama dan syariat agama dihormati dan didudukkan dalam nilai asasi kehidupan bangsa dan negara. Dan setiap pemeluk agama bebas menganut agamnya dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang religius, atau tepatnya sebagai bangsa yang beriman kepada tuhan, meski pengamalan syariat agama dalam kehidupan sehari-hari belum intensif, namun dalam praktek kehidupan sosial dan kenegaraan sulit dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai dan nornma keagamaan. Bahkan, dalam rangka dalam rangka suksesnya pembangunan nasional dalam sektor agama termasuk salah satu modal dasar, yakni modal rohaniah dan ini dapat dibuktikan mengenai pengaruh agama dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat besar, yaitu sentuhan dan pengaruhnya tampak dirasakan memberi bekas yang mendalam pada corak kebudayaan Indonesia. Bahkan, ketahanan nasional juga harus berangkat dengan dukungan umat beragama, artinya bagaimana agar kaum beragama mempunyai kemampuan dan gairah untuk tampil dan kreatif membina dan meningkatkan ketahanan nasional khususnya, dan pembinaan sosial budaya pada umumnya sehingga nilai-nilai agama dan peranan umat beragama benar-benar dirasakan dan mempengaruhi pertumbuhan PEMERINTAH DALAM MEMBINA KEHIDUPAN BERAGAMASetelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, pemerintah pada tanggal 3 Januari 1946 menetapkan berdirinya Departemen Agama RI dengan tugas pokok, yaitu menyelenggarakan sebagian dari tugas umum pemerintah dan pembangunan dalam bidang agama. Penyelenggaraan tugas pokok Departemen Agama itu,diantara lain berbentuk bimbingan, pemnbinaan dan pelayanan terhadapa kehidupan beragama, sama sekali tidak mencampuri maslah aqidah dan kehidupan intern masing-masing agama dan pemeluknya. Namun, pemerintah perlu mengatur kehidupan ekstern mereka, yaitu dalam hubungan kenegaraan dan kehidupan antar pemeluk agama yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik buku Pedoman Dasar Kehidupan Beragama tahun 1985-1986 Bab IV halaman 49 disebutkan hal-hal sebagai Kerukunan hidup beragama adalah proses yang dinamis yang berlangsung sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri2. Pembinaan kerukunan hidup beragama adalah upaya yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama dengana. menanamkan pengertian akan nilai kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung kerukunan hidup mengusahakan lingkungan dan keadaan yang mampu menunjang sikap dan tingkahlaku yang mengarah kepadakerukunan hidup menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah laku yang mewujudkan kerukunan hidup Kondisi umat beragama di Indonesia. Pelaksanaan pembinaan kerukunan hidup beragama dimaksudkan agar umat beragama mampu menjadi subjek pembangunan yang bertanggung jawab, khususnya pembinaan kerukunan hidup beragama Indonesia mempunyai kondisi yang positif untuk terus dikembangkan, yaitua. ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esab. kepercayaan kepada kehidupan di hari kemudianc. memandang sesuatu selalu melihat dua aspek, yaitu aspek dunia dan akhiratd. kesediaan untuk hidup sederhana dan berkorbane. senantiasa memegang teguh pendirian yang berkaitan dengan aqidah agamaHAMBATAN-HAMBATAN DALAM MENCIPTAKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA1. Semakin meningkat kecenderungan umat beragama untuk mengejar jumlah kuantitas pemeluk agama dalam menyebarkan agama dari pada mengejar kualitas umat Kondisi sosial budaya masyarakat yang membawa umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga kerukunan dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun Keinginan mendirikan rumah ibadah tanpa memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung perasaan umat beragama yang memang mayoritas di tempat Menggunakan mayoritas sebagai sarana penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah. Misalnya, pemilikan dana dan fasilitas pendidikan untuk memaksakan kehendaknya pada murid yang Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan kekeluargaan atau gotong royong ke arah kehidupan berbagai kondisi yang mendukung kerukunan hidup beragama maupun hambatan-hambatan yang ada, agar kerukunan umat beragama dapat terpelihara maka pemeritah dengan kebijaksanaannya memberikan pembinaan yang intinya bahwa masalah kebebasan beragama tidak membenarkan orang yang beragama dijadikan sasaran dakwah dari agama lain, pendirian rumah ibadah, hubungan dakwah dengan politik, dakwah dan kuliah subuh, batuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia, peringatan hari-hari besar agama, penggunaan tanah kuburan, pendidikan agama dan perkawinan kerukunan intern, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah dapat direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara harmonis, niscaya perhatian dan konsentrasi pemerintah membangun Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT akan segera terwujud, berkat dukunag umat beragama yang mampu hidup berdampingan dengan serasi. Sekaligus merupakan contoh kongkret kerukunan hidup beragama bagi masyarakat memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya selektifitas kualitas moral seseorang dalam komunitas masyarakat mulya Makromah, yakni komunitas warganya memiliki kualitas ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan STRATEGIS DALAM MEMANTAPKAN KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMAAdapun langkah-langkah yang harus diambil dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama, diarahkan kepada 4 empat strategi yang mendasar yaknia. Para pembina formal termasuk aparatur pemerintah dan para pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan komponen penting dalam pembinaan kerukunan antar umat Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus ke sikap Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat adanya kurang informasi atau saling pengertian diantara sesama umat Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat PEMBINAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMAAdapun yang menjadi strategi dalam pembinaan kerukunan umat beragama dapat dirumuskan bahwa salah satu pilar utama untuk memperkokoh kerukunan nasional adalah mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Dalam tatanan konseptual kita semua mengetahui bahwa agama memiliki nilai-nilai universal yang dapat mengikat dan merekatkan berbagai komunitas sosial walaupun berbeda dalam hal suku bangsa, letak geografis, tradisi dan perbedaan kelas saja dalam implementasi, nilai-nilai agama yang merekatkan berbagai komunitas sosial tersebut sering mendapat benturan, terutama karena adanya perbedaan kepentingan yang bersifat sosial ekonomi maupun politik antar kelompok sosial satu dengan yang lain. Dengan pandangan ini, yang ingin kami sampaikan adalah bahwa kerukunan umat beragama memiliki hubungan yang sangat erat dengan faktor ekonomi dan politik, disamping faktor-faktor lain seperti penegakan hukum, pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat dan peletakan sesuatu pada kaitan ini strategi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut 1. Memberdayakan institusi keagamaan, artinya lembaga-lembaga keagamaan kita daya gunakan secara maksimal sehingga akan mempercepat proses penyelesaian konflik antar umat beragama. Disamping itu pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan bobot/warna tersendiri dalam menciptakan Ukhuwah persatuan dan kesatuan yang hakiki tentang tugas dan fungsi masing-masing lembaga keagamaan dalam masyarakat sebagai perekat kerukunan antar umat Membimbing umat beragama agar makin meningkat keimanan dan ketakwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam suasana rukun baik intern maupun antar umat Melayani dan menyediakan kemudahan beribadah bagi para penganut Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah sesuatu Mendorong peningkatan pengamalan dan penunaian ajaran Melindungi agama dari penyalah gunaan dan Mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai Pancasila dan konstitusi dalam tertib hukum Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya dialog dan kerjasama antara pimpinan majelis-majelis dan organisasi-organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia pemimpin agama dan pemimpin masyarakat lokal untuk ketahanan dan kerukunan masyarakat Fungsionalisasi pranata lokal. seperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma sosial yang mendukung upaya kerukunan umat Mengundang partisipasi semua kelompok dan lapisan masyarakat agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing¬-masing melalui kegiatan-kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerja sama sosial dan Bersama-sama para pimpinan majelis-majelis agama, melakukan kunjungan bersama-sama ke berbagai daerah dalam rangka berdialog dengan umat di lapisan bawah dan memberikan pengertian tentang pentingnya membina dan mengembangkan kerukunan umat Melakukan mediasi bagi kelompok-kelompok masyarakat yang dilanda konflik dalam rangka untuk mencari solusi bagi tercapainya rekonsiliasi sehingga konflik bisa dihentikan dan tidak berulang di masa Memberi sumbangan dana sesuai dengan kemampuan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi dari daerah asal mereka karena dilanda konflik sosial dan etnis yang dirasakan pula bernuansakan Membangun kembali sarana-sarana ibadah Gereja dan Mesjid yang rusak di daerah-daerah yang masyarakatnya terlibat konflik, sehingga mereka dapat memfungsikan kembali rumah-rumah ibadah pemecahan masalah untuk menyikapi pluralisme dengan berbagai pendekatan antara lain a. Pendekatan Sosiologis. Artinya pemahaman tingkah laku umat beragama yang merupakan hasil prestasi riil obyektif komunitas Pendekatan Kultural. Dalam banyak soal budaya-budaya lokal yang dimulai oleh pemimpin agama-agama tertentu tidak dikomunikasikan kepada pemimpin dan anggota kelompok umat beragama yang lain, apa yang menjadi maksud dan tujuannya. Sikap saling mencurigai akhirnya muncul dan menumpuk menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak oleh pemicu yang Pendekatan Demografi Kita memahami realita ada kelompok umat beragama yang mayoritas dan minoritas di wilayah tertentu, ada pemimpin atau pengurus lembaga keagamaan yang berat sebelah di dalam mengambil kebijaksanaan sehingga membawa pertentangan di antara kelompok umat untuk bersikap terbuka dan jujur dalam antar lembaga keagamaan untuk soal ini menjadi ujian yang harus dilewati. Sebagai tindak lanjut dari berbagai pendekatan tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa pemecahan masalah1. Melalui sosialisasi tentang kerukunan antar umat Melayani dan menyediakan kemudahan bagi penganut Tidak mencampuri urusan akidah/dogma dan ibadah suatu Negara dan pemerintah membantu/membimbing penunaian ajaran agama dan merumuskan landasan hukum yang jelas dan kokoh tentang tata hubungan antar umat Membentuk forum kerukunan antar umat Meningkatkan wawasan kebangsaan dan multikultural melalui jalur pendidikan formal, informal dan non Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk ketahanan dan kerukunan masyarakat pada umumnya dan umat pada Melindungi agama dari penyalahgunaan dan Aksi sosial bersama antar umat memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama perlu dilakukan suatu upaya upaya sebagaiberikut 1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama serta antar umat beragama dengan Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif yang mendukung pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementif bagi kemanusiaan yang mengarah kepada nilai-nilai ketuhanan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan untuk menanggulangi konflik yang terjadi yang perlu diupayakan oleh para tokoh/pemimpin agama dapat menciptakan suasana yang kondusif dalam kehidupan masyarakat yang dikembangkan dalam dialog kehidupan, dialog pengalaman keagamaan dan dialog aksi sehingga menimbulkan sikap inklusif pada masyarakatnya atau dalam memelihara kerukunan beragama, setidaknya ada 6 dosa besar yang harus kita hindari the six deadly sins in maintaining relegious harmony, yaitu 1. Jangan berperilaku yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Jangan tidak perduli terhadap kesulitan orang lain walaupun berbeda agama dan Jangan mengganggu orang lain yang berbeda agama dan Jangan melecehkan agama dan keyakinan orang Jangan menghasut atau menjadi provokator bagi timbulnya kebencian dan permusuhan antar umat Jangan saling curiga tanpa alasan yang PEMBINAAN UMAT BERAGAMA1. Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Penjelasan atas Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Penetapan Presiden RI Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Instruksi Presiden RI Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Petunju Presiden sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/Mdn-Mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Instruksi Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1995 tentang Tindak lanjut Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 di Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Keputusan Pertemuan Lengkap wadah Musyawarah Antar Umat Beragama tentang Penjelasan Atas Pasal 3, 4 dan 6 serta pembetulan Susunan Penandatanganan Pedoman Dasar Wadah Musyawarah Antar Umat Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah Sehubungan dengan Telah Terbentuknya Wadah Musyawarah antar Umat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep-108/ tentang Pembentukan Team Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Surat Kawat Menteri Dalam Negeri Nomor 264/KWT/DITPUM/DV/V/75 perihal Penggunaan Rumah Tempat Tinggal sebagai Surat Kawat Menteri Dalam Negeri Nomor 933/KWT/SOSPOL/DV/XI/75 perihal Penjelasan terhadap Surat Kawat Menteri dalam Negeri Nomor 264/KWT/DITPUM/DV/V/75 tanggal 28 Nopember Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor tentang Penataan Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang Bertentangan dengan Ajaran Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keputusan Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama tentang Peringatan Hari-hari Besar Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor Kep/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 84 Tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerukunan Hidup Umat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 473 Tahun 2003 tentang Petunjuk PelaksanaanPenanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, dan Pendirian Rumah adalah negara yang memiliki keunikan tersendiri di dalam membangun, memelihara, membina, mempertahankan, dan memberdayakan kerukunan umat beragama. Upaya-upaya berkaitan kegiatan kerukunan umat beragama tersebut merupakan sebuah proses tahap demi tahap yang harus dilalui secara seksama agar perwujudan kerukuanan umat beragama benar-benar dapat tercapai. Di samping itu, ia juga merupakan upaya terus-menerus tanpa henti dan hasilnya tidak diperoleh secara seandainya kondisi ideal kerukunan tersebut sudah tercapai bukan berarti sudah tidak diperlukan lagi upaya untuk memelihara dan mempertahankannya. Justru harus ditingkatkan kewaspadaan agar pihak-pihak yang secara sengaja ingin merusak keharmonisan kerukunan hidup atau kerukunan umat beragama di Indonesia tidak bisa masuk. Karena itu kerukunan umat beragama sangat tergantung dan erat kaitannya dengan ketahana nasional nasional adalah kondisi dinamis bangsa dan negara Indonesia dalam segala aspek kehidupan untuk menangkal segala pengaruh dari luar yang menggangu stabilitas negara. Tugas berat ini tidak hanya terletak di tangan pemerintah, penguasa, dan pemimpin negara, tetapi merupakan tugas segala lapisan masyarakat. Apa saja hambatan dalam menerapkan kerukunan antar umat beragama? Faktor peng¬hambat kerukunan hidup beragama selain warisan politik penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang bersahabat, cara-¬cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang telah beragama, pendirian tempat ibadah tanpa meng¬indahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengaburan nilai- ... Jelaskan apa yang menyebabkan kerukunan hidup beragama di Indonesia Terganggu? Ada beberapa penyebab konflik antar umat beragama 1. Mereka masih belum memahami ajaran agamanya atau menyimpang dari aturan/ajaran agama masing-masing. 2. Masyarakat masih mementingkan diri sendiri atau menganggap agamanya yang paling benar. 3. Masyarakat masih bertindak semaunya tanpa mengikuti kaedah yang ada. Bagaimana cara mewujudkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia? Dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama ada satu hal yang perlu dapat dilakukan yaitu memahami keberadaan agama lain, untuk mencapai pemahaman yang konfrehensif terhadap agama lain, diperliukan sikap lapang dada dalam bersikap dan dalam berbuat, sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan memberikan makna ... Sebutkan apa saja hal hal yang dapat mendorong terjadinya kerukunan antar umat beragama? Disukai komunitas kami. saling menghargai antar umat bergama.. menjaga kerukunan.. hidup bertoleransi.. eukumene..

Tentunyabanyak sekali tantangan dan hambatan dari pemilu, dan menjadi pemilu terumit dalam sejarah di Indonesia ini. Tentunya banyak sekali tantangan dan hambatan dari pemilu, dan menjadi pemilu terumit dalam sejarah di Indonesia ini. Senin, 14 Maret 2022; Cari. Network. Tribunnews.com; TribunnewsWiki.com;

Sekaligus hambatan yang ditemukan di lapangan (encountered barriers) meliputi; tidak tersedianya data dalam format elektronik (54%), keterbatasan Sumber daya (42%), ketidaktahuan keberadaan data (40%), masalah konfidensialitas (37%) dan ketidaktahuan mengakses data (28%) [1]. Data ini menarik dan kontektual dengan pengalaman para peneliti Kemajemukandi Indonesia, adalah sebuah tantangan bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana hal ini bisa menjadi tantangan dan hambatan, bagi masyarakat Indonesia? Konflik biasanya, terjadi akibat "kesalahpahaman". Jika dibiarkan, dapat menimbulkan konflik, yang bisa berakhir pada interaksi fisik. .
  • 67rmgafzo7.pages.dev/928
  • 67rmgafzo7.pages.dev/363
  • 67rmgafzo7.pages.dev/884
  • 67rmgafzo7.pages.dev/116
  • 67rmgafzo7.pages.dev/442
  • 67rmgafzo7.pages.dev/689
  • 67rmgafzo7.pages.dev/599
  • 67rmgafzo7.pages.dev/957
  • 67rmgafzo7.pages.dev/624
  • 67rmgafzo7.pages.dev/777
  • 67rmgafzo7.pages.dev/877
  • 67rmgafzo7.pages.dev/559
  • 67rmgafzo7.pages.dev/46
  • 67rmgafzo7.pages.dev/578
  • 67rmgafzo7.pages.dev/43
  • apa tantangan dan hambatan pembinaan kerukunan dalam masyarakat indonesia